Senin, 02 April 2012

GLOBALISASI


Globalisasi adalah meningkatnya saling keterkaitan di antara berbagai belahan dunia melalui terciptanya proses ekonomi, lingkungan, politik, dan perubahan kebudayaan. Globalisasi merupakan salah satu hal yang harus dihadapi  oleh berbagai bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Sebagai anggota masyarakat dunia, Indonesia pasti tidak dapat dan tidak akan menutupi diri dari pergaulan internasional, karena antara negara satu dan negara lainnya pasti terjadi saling ketergantungan.
Adapun peristiwa-peristiwa dalam sejarah dunia yang meningkatkan proses globalisasi antara lain:
  • Ekspansi negara-negara Eropa ke belahan dunia lain.
  • Munculnya kolonialisme dan imperialisme.
  • Revolusi industri yang dapat mendorong pencarian barang hasil produksi.
  • Pertumbuhan kapitalisme, yaitu sistem dan paham ekonomi yang modalnya  bersumber dari modal pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan dalam pasaran bebas.
  • Meningkatnya telekomunikasi dan transportasi berkat ditemukannya telepon genggam dan pesawat jet pasca Perang Dunia II.
Faktor-faktor pendorong globalisasi antara lain:
  • Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
  • Diterapkannya perdagangan bebas.
  • Liberalisasi keuangan internasional.
  • Meningkatnya hubungan antar negara.
Tujuan globalisasi ada tiga macam, yaitu:
  • Mempercepat penyebaran informasi.
  • Mempermudah setiap orang memenuhi kebutuhan hidup.
  • Memberi kenyamanan dalam beraktifitas.
Globalisasi memiliki arti penting bagi bangsa Indonesia, yaitu kita dapat mengambil manfaat dari globalisasi dan menerapkannya di Indonesia. Manfaat globalisasi antara lain kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, mempermudah arus modal dari negara lain, dan meningkatkan perdagangan internasional.
Globalisasi memiliki nilai-nilai positif namun juga memiliki nilai-nilai negatif. Untuk menyaring nilai-nilai negatif maka kita harus berpedoman pada nilai-nilai Pancasila, karena nilai-nilai Pancasila sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Jika kita mengambil nilai-nilai negatif globalisasi, maka yang akan terjadi adalah kaburnya jati diri bangsa Indonesia dan masuknya kebiasaan-kebiasaan yang buruk.

Selasa, 20 Maret 2012

perzinahan.


Wanita yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh dinikahkan baik dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun dengan laki-laki lain, kecuali bila memenuhi dua syarat. Pertama. Wanita tersebut dan si laki-lakinya bertaubat dari perbuatan zinanya dan menyesali atas perbuatannya tersebut. Apabila seseorang telah mengetahui bahwa pernikahan ini haram dilakukan, namun tetap memaksakannya dan melanggarnya, maka pernikahannya itu tidak sah. Dan bila melakukan hubungan, maka hubungan itu adalah perzinahan. Juga anak yang dikandungnya  itu tidak dinasabkan kepada laki-laki itu dalam kata lain si anak tidak memiliki bapak. Ini tentunya bila mereka mengetahui, bahwa hal itu tidak boleh. Apabila seseorang menghalalkan pernikahan semacam ini, padahal mengetahui telah diharamkan Allah, maka dia dihukumi sebagai orang musyrik. Karena menghalalkan perkara yang diharamkan Allah. Kedua. Harus beristibra (menunggu kosongnya rahim) dengan satu kali haid bila si wanita tidak hamil. Dan bila hamil, maka sampai melahirkan kandungannya. Bila seseorang tetap menikahkan puterinya yang telah berzina tanpa beristibra' terlebih dahulu dengan satu kali haid. Atau sedang hamil tanpa menunggu melahirkan terlebih dahulu, sedangkan dirinya mengetahui bahwa pernikahan seperti itu tidak diperboleh. Dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa hal itu diharamkan sehingga pernikahannya tidak diperbolehkan, maka pernikahannya itu tidak sah. Apabila keduanya melakukan hubungan badan maka itu termasuk zina, dan harus bertaubat kemudian pernikahannya harus diulangi bila telah selesai istibra dengan satu kali haid terhitung dari hubungan badan yang terakhir atau setelah melahirkan.
Memang, saat – saat ini lagi marak para pemuda – pemudi yang kurang pemahaman agamanya dan orang tuanya pun tidak mendidik anaknya dengan pemahaman agama yang kuat, akhirnya timbullah kemalasan sang anak untuk mencari sebuah kebenaran yang haqiqi. Bahkan, mereka tidak tahu tentang dosa zina yang menimbulkan kehamilan di luar tirai pernikahan.

Narasumber: Ustad Toha.

Kamis, 27 Januari 2011

kumpulan puisi reformasi


SETIAP TERJAGA
Karya: Gus TF


Setiap terjaga, ia berkata, "Celaka,
kenapa aku terbangun di tubuh yang sama?"
 
Tapi tidak. Setiap tidur, sel dalam dagingmu
menggeliat mengupas rupa. Selalu ia merasa
ada yang lekat seperti lendir, membelit,
 
dan terus membelitnya.
 
Setiap terjaga, ia berkata, "Celaka,
kenapa aku terbangun di zaman yang sama?"
 
Tapi tidak. Setiap tidur, waktu dalam dirimu
berderak memangkas dunia. Selalu ia merasa
ada waktu lain bagai gelambir, menjerat,
 
menjerat, tak henti mengepungnya.





Tahun,1998




KUTUKAN ITU
Karya: Gus TF


Kukatakan takdirku: Mencari.
 
Akhirnya datang kutukan itu. Kebebasan.
Adakah yang dapat engkau temukan? Tak ada.
Karena memang tak ada makna pada diriku.
 
Juru bisikku, kaukatakan dunia ini makna.
 
Kebebasan. Akhirnya datang kutukan itu.
Mencari. Tidakkah engkau budak Tuan Eksistensi?
Sepanjang hari, berabad-abad memikul kata: Makna,
 
esensi, makna, esensi. Sampai capek. Sampai letih
dalam sajakku. Tapi tak ada. Karena makna, rnemang
 
hanya pada dirimu. Juru takdirku. Juru takdirku.
 
Larutkan aku, dalam terali penjara maknamu.




Tahun,1998



SERATUS JUTA
Karya: Taufik Ismail

Umat miskin dan penganggur berdiri hari ini
Seratus juta banyaknya
Di tengah mereka tak tahu akan berbuat apa
Kini kutundukkan kepala, karena
Ada sesuatu besar luar biasa
Hilang terasa dari rongga dada
Saudaraku yang sirna nafkah, tanpa kerja
berdiri hari ini
Seratus juta banyaknya
Kita mesti berbuat sesuatu, betapun sukarnya.







Tahun, 1998


SYAIR EMPAT KARTU DI TANGAN  
 Karya: Taufik Ismail

Ini bicara blak-blakan saja, bang 
Buka kartu tampak tampang 
Sehingga semua jelas membayang 
Monoloyalitas kami 
sebenarnya pada uang 
Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara 
Koyak tampak terkubak semua 
Sehingga buat apa basi dan basa 
Sila kami 
Keuangan Yang Maha Esa
Jangan sungkan buat apa yah-payah 
Analisa psikis toh cuma kwasi ilmiah 
Tak usahlah sah-susah 
Ideologiku begitu jelas 
ideologi rupiah
Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahan 
Setiap jeroan berjajar kelihatan 
Sehingga jelas sebagai keseluruhan 
Asas tunggalku 
memang keserakahan.
   

Tahun, 1998




JARAK JUA
Karya: Gus TF


Waktu lain untuk kosmos lain. Kosmik lain
untuk tubuh lain. Demikian ia, terus dan terus ke
dagingmu. Kautepiskah, wahai, pikiran itu?

Penunggang siang bebintang malam. Pengendara
langit wewaktu dekam. Akhirnya: kaulangsirkan kami,
di stasiun lain di peron lain. Di kosmos lain, kau gumpal
gumpalkan kami. Seperti dulu atom pernah menangis
nangis membongkah-bongkah jadi materi.
 
Jadi rongga. Menjadi ceruk menjadi kota. Sesekali,
kaugerus kami. Kami menjerit, meraung-raung memukul
dada. "Jendela! Jendela!" Tapi kosmik. Tetapi kosmik,
 
telah menjelma jagat raya. Jagat raya! Seperti kini, bila
malam, kami mendongak dan cuma mendongak sebatas
mata. Dunia lain. Waktu lain, untuk tubuh dan daging
lain. Kautepiskah, wahai, jarak dan kesepian ini?





Tahun, 1998


NEGARA WAKTU
Karya: Gus TF


kau pun lalu berkata, "Hanya ketika waktu tak ada,
kau boleh bilang keabadian engkau yang punya."
 
Tapi inilah kota — katamu negara — yang tergerus
angan cahaya. Setiap hari bila terjaga, kau bermandi khayal
khatulistiwa. Katamu, "Lihatlah akar menjalar, merucut tumbuh
ke batang tubuh. Atmosfer cair, melengkung rebah ke bingkai air.
Sungai inikah, cemas sejarah, mengalir-bermuara ke laut entah?"
 
Tapi inilah kampung — katamu negara —  yang tercangkul
di ritus tanah. Setiap hari bila terjaga, engkau tercerap, lenyap
ke khayal indah. Katamu, "Lihatlah gedung menjulang, menyundul
awan bagai melayang. Lampu berpendar, berdenyar ke gelung akar.
Beton inikah, cemas sejarah, memanggul-bawa ke zaman entah?"
 
Mereka pun lalu berkata, "Hanya ketika kau tak ada,
kampung dan kota bagai waktu, akan memisah tak berkira."






Tahun, 1998


SERIGALA
Karya: Gus TF


katamu, bila malam, aku akan menggeram
dalam mimpimu. Sungguh aku tak tahu,
hewan apa yang tak pernah
tidur dalam diriku.

Katamu, kala tidur, aku melompat
dan melolong ke jendela. Sungguh aku
tak tahu, kecuali bahwa bulan
memang indah malam itu.











Tahun,1999



PENDATANG
Karya: Gus TF


Nanti, ketika aku pergi, akan tiba pendatang lain
dengan kalimat lain. Mungkin mereka jelaskan, segenap
misteri kehidupan; tetapi tidak tentang mereka sendiri. Selalu,
kata mereka, "Ada lampu. Tapi bukan buat disulut dalam diri."
 
Namun, karena bertetangga, kau senantiasa terus tergoda
untuk tahu tentang mereka. Ada kalanya lupa, tetapi lebih sering
kau saling suruh berbaku-hasut mendesak mereka. Sampai suatu ketika
mereka berkata, "Ada mitos. Tapi semua cuma dongeng tak berguna."
 
Besoknya, terkejut, kausaksikan semua: Puing-puing hangus,
tubuh-tubuh gosong, rumah-rumah rata. Di tengah sangit udara, kau
tiba-tiba ingat kejadian semalam, dan berkata, "Lampu itu! Ada nyala
di dada mereka!" Semua pun lalu menangis. Menangis, sejadi-jadinya.






Tahun,1999



AKU DAN ALANG-ALANG
Karya: Nasaruddin Falufuz


Mungkin kau tak akan pernah tahu
akulah yang sedang menebas
alang-alang di hutan itu
dan menepikannya ke seberang yang jauh

aku akan tetap berdiri di sana
membangun rumah

dari kristal keringat, air mata serta
darah

biarlah kau tak akan pernah mengerti
apa yang kumaksud tentang rindu
dan kesetiaan
sebab tanta alang-alang itupun
langkahku sudah tertatih-tatih





Tahun,1999



SAJAK DARI SEBUAH GARIS
Karya: ARS Dewo DP


Sunyi yang menjemputku dari telaga dan hutan
sebuah garis memancar lurus dari ranting pohon kering
akulah yang di balik puing-puing itu
memesan ratusan cermin dari bibirmu

Mata itu, memanggil dari alam lain
kandungan  garis yang digoreskan
adalah keindahan yang subur di alismu
menari-nari dengan gemulai duka
barangkali hari terus berganti
dan pagi yang purba
selalu membangunkanku menuju rumah-Mu

Kemudian kutarik garis itu
Pada pusaran airmata dalam mimpi
Pada senja yang dingin dan lembab
Dan dihayati oleh daun kering





Tahun,1999



LAGU CINTA
Karya: Putu Wijaya

Kulihat malam begitu dalam
Dan angin berdesah bimbang
Aku pun tertegun sebelum melangkah
Masihkah kau simpan perasaan sayang
yang dahsyat dalam diriku  

Kudengar senandung lamat-lamat
Begitu akrab dan kukenal
Seakan melempar ke masa silam
Ketika kita bertemu di ujung jalan
Saling membaca perasaan masing-masing
Dan setuju untuk sama-sama berjuang

Haruskah cinta berakhir sedih
Karena kita tak memilih

Tidak, kulihat nyala api masih mambakar
Ketika kita terlena dan tubuh mengucap
Betapa dalam perasaan bertaut
Bahkan semakin bersatu ketika jalan tertutup

Dan akupun bertambah yakin
Tak ada yang mampu membunuh yang bertekad

Kulompati pagar dan menyelinap masuk
Berdiri didepan pintu memanggil namamu
Mengucap salam dan sebuah janji
Berikan aku kesempatan menyayangi

Kita telah bergetar disini
Tidak pernah berubah hanya lebih dewasa
Tinggal kamu siap membuka pintu
Tiba saatnya untuk berhenti ragu





Tahun, 1999


MEJA KAYU
Karya: Cecep Syamsul Hari
  
Inilah rahasia senja, usia yang terbuang
Maut yang mengundang dan menghindar. Laut jauh
Malam pualam. Kudengar berbagai suara dari dalam; pertempuran
Tarian mephisto, erang dan keluh, jamu yang diseduh, sedang dia
Memungut bayang-banyang; luka dan prelude dari luka
Yang luput. Ada perempuan matang yang bergigi kawat, berdiri disebuah hari, ujung tahun yang basah, di bawah pohon cemara
Berlampu lebat. Pengakuanku terbesar padamu, aku berhenti
Menemui seorang gadis, dan minum kopi lagi. Semakin jarang
Aku memberimu ciuman, umurku berkurang
Dan kesepian. Telah ku terima kegagalan dan hujatan
Sebagai cinta. Aku keluar, sepatuku selalu bersemir coklat,

Kaus kaki baru dan lembut, ah, bukankah telah lama kering
Rumput di halaman dan chopin di masa silam menulis lagu pedih
Tentang hujan. Gerimis dan rincing uang logam, pemantik api
dan pipi yang penuh, sudut kotamu selalu riuh. Aku bernyanyi,
jika sedih aku bernyanyi: tepislah cintaku, dan esok pagi
aku akan bangun di kamar hotelku. Sendiri. Yang kusayangi
selalu pergi inilah rahasia senja, tanpa patahan kenangan
dan hendak memuja mitiologi. Alangkah riang ketika langit
terang, ketika langsir, peluit tukang parkir bagai jadwal
yang mangkir. Aku murung dan kecewa, di stasiun Tugu
melompat-lompat dan tertawa. Bermain, faust, bukan bersedia
keras kepala, untuk senyum seorang perawan, pemimpin yang rebut,

sahabat yang memelihara serigala dalam dadanya, untuk bukan
apapun. Tidak seperti para terusir di tanah-tanah pengungsian,
aku Cuma sedikit kehilangan: daun jatuh percakapan
yang berayun-ayun; dan seorang perempuan lemah
melepas kerudungnya, mendedah kecupan, menata surat-surat
hadiah-hadiah remah, dan mengubur bekas pelukanku
di bawah meja kayu.




Tahun,1999



DOA SEHELAI DAUN KERING
Karya: Emha Ainun Najib

Janganku suaraku, ya 'Aziz
Sedangkan firmanMupun diabaikan
Jangankan ucapanku, ya Qawiy
Sedangkan ayatMupun disepelekan
Jangankan cintaku, ya Dzul Quwwah
Sedangkan kasih sayangMupun dibuang
Jangankan sapaanku, ya Matin
Sedangkan solusi tawaranMupun diremehkan
Betapa naifnya harapanku untuk diterima oleh mereka
Sedangkan jasa penciptaanMupun dihapus
Betapa lucunya dambaanku untuk didengarkan oleh mereka
Sedangkan kitabMu diingkari oleh seribu peradaban
Betapa tidak wajar aku merasa berhak untuk mereka hormati
Sedangkan rahman rahimMu diingat hanya sangat sesekali
Betapa tak masuk akal keinginanku untuk tak mereka sakiti
Sedangkan kekasihMu Muhammad dilempar batu
Sedangkan IbrahimMu dibakar
Sedangkan YunusMu dicampakkan ke laut
Sedangkan NuhMu dibiarkan kesepian
Akan tetapi wahai Qadir Muqtadir
Wahai Jabbar Mutakabbir
Engkau Maha Agung dan aku kerdil
Engkau Maha Dahsyat dan aku picisan
Engkau Maha Kuat dan aku lemah
Engkau Maha Kaya dan aku papa
Engkau Maha Suci dan aku kumuh
Engkau Maha Tinggi dan aku rendah serendah-rendahnya
Akan tetapi wahai Qahir wahai Qahhar
Rasul kekasihMu maíshum dan aku bergelimang hawaí
Nabi utusanmu terpelihara sedangkan aku terjerembab-jerembab
Wahai Mannan wahai Karim
Wahai Fattah wahai Halim
Aku setitik debu namun bersujud kepadaMu
Aku sehelai daun kering namun bertasbih kepadaMu
Aku budak yang kesepian namun yakin pada kasih sayang dan pembelaanMu
Tahun, 1999


DEMIKIANLAH WAKTU BICARA
Karya: Moh. Wan Anwar

demikianlah waktu bicara, bersepakat dengan kita
kuil itu biarkan tetap suci
aku sekarat di barat kaulebur di timur
kau memilih semak aku mengembara di belantara
dan dari luar pagar, di antara sengat matahari
malam yang diguyur wiski
kupandangi lagi kuil itu, kukenang celah
pintu —memang cinta telah tertanam
kuperam meski Cuma menjadi cuka

demikianlah jalan berbatu
tanah tergores, pada luka yang ditoreh
ada janji mengekal
dinding retak tak terbaca, harap lindap
di antara sumpah dan kutukan

mestinya kita berakhir di pelaminan
menganyam duka jadi mosaik
tapi aku tak berhasil menyelami samuderamu
kaugagal menangkap kalimat-kalimatku
mari kini melupa, menjadi bijak dan tua
melukis air mata di akhir bab yang duka ini

Tahun, 1999




EPISODE XX
Karya: Indra Tjahyadi

“Betapakah matahari bertuba
dalam tidurmu!”
Seperti aku tengah kembali
pada sebuah akhir
tak berjuang, laki-laki
Iingatanku kurus, tercelup kelam
yang busuk. Dengan bau-bau guntur,

fantasi-fatasi pelacur
pelacur muda yang terbunuh

Mengeras, beku dalam otakku.
Kulihat  perahu-perahu pilu mengembung
serupa buah dadamu
Aku menjelma patahan
patahan kata, terkubur hidup-hidup
dalam syahwatku

Musim-musim menggerum
serdadu-serdadu liar kekal dalam nafsuku
kesunyian-kesunyian
pezinah purba melumuri tulang
dan dagingku dengan lumpur
Seperti panorama kematian yang berkhianat
pada cumbu, darah-darah orang bejat melolong,
tercekat di kerongkonganku
Aku rasakan dendam berdetak,
lebih banal daripada kebebalanSeluruh penampah raib,
tapi betapakah malam
masih sama perihnya seperti jantungku!
Aku menjelma kabut, Luth menanti
kematiannya sendiri dalam bisu
Seluruh kengerian gemetar,
memenggil bayang-bayangku
Kini, kutorehkan derita melebihi
rasa sakitku. Sorga gagal menciptakan
Adam dari tanah dan batu-batu
Tahun, 1999



NEGERI LAUT
Karya: Moh. Wan Anwar

Di sekitar deret penjual koran
cuaca seperti buku-buku porno
di dekat restoran bermenu sampah
segerombol remaja mengecat oranye di kepalanya
seperti huruf-huruf seragam pada reklame
mereka merasa di seberang benua

di sebuah sudut, di kedai kopi
matamu tersihir juga—serentak bergumam
atau mungkin sejenis dzikir
“dunia seperti dongeng, kambing-kambing
belanja dan merumput di televisi…”

ada juga kalimat sakti pada spanduk
isyarat riwayat gawat, dulu
memang ada sebundel waktu ketika karang
bertemu tangan menjelma gairah
dan laut jadi meriah. Kapal-kapal singgah
buritan penuh dengan rempah-rempah
penduduk sibuk berjabat tangan
membagi senyum dalam syukur dalam ibadah

kini jendela-jendela itu berdebu
tangan berhias golok, senjata di mana-mana
dan kita—juga gerombolan remaja itu—buta
di hadapan mereka yang meluncurkan
kalimat lurus berbaris bagai serdadu

di sekitar deret penjual koran, kota kehilangan akar
lidah, laut dan perahu. Dan di sudut muram
kopi berbau amis. Koran-koran menggambar
peta robek, wirid cabul
dan cinta tergeletak di lantai bursa








Tahun, 1999



NYATANYA TAK ADA YANG ISTIMEWA
Karya: Moh. Wan Anwar

di penancangan, di rumahmu, kita buka kembali
album kerusuhan—ah, tak ada yang istimewa
mimpi ternyata bukan hanya milik kita
kaubuka kulkas seperti membuka perkara
di negeri ini. Kau sodorkan  air putih setelah
gerak mata yang letih. Di sela-sela almanak
sunyi membungkuk kian renta

kita lipat hamparan peta berdarah itu
musim kemarau mengirim angin yang anyir
terlalu berat kita berharap—dan harap, ah
bukankah tak lebih nonsesns. Kita lalu merokok
sama-sama terdiam di antara bulatan asap
dan masa silam, igau dan kesadaran

kautuangkan lagi air putih
kerongkongan sesak oleh hembus yang sama
kita saling menunggu seperti dua aktor
di bawah juntaian kawat dalam teater
pulanglah, katamu, hari sudah malam
kita bereskan korek dan bungkus rokok
menyimpannya di dalam saku
menyimpan nyeri yang tak menentu

di penancangan, di rumahmu, kita buka kembali
bab-bab awal percintaan—tapi tak ada yang istimewa
kita terpasung dalam waktu dan usia

Tahun, 1999


BUKAN KEMATIAN KUMAKSUDKAN
Karya: Iyut Fitra

Seribu tali gantungan pun tak akan menjemput matiku
kecuali engkau o, kekasihku yang jauh
yang merampas doa-doa, tasbih dan dzikir
hingga lengang demi lengang mencucuk seperti ratusan serigala
mendendam kehilangan cahaya untuk cinta
aku pun berlayar
menyebrangi cuaca yang samara dengan dada yang keping
ada pukat, ada jala
dan aku seolah-olah ikan kecil terperangkap
menyeru sesuatu yang selalu kuyakini tetap satu
engkau, o engkau kekasihku!

Kuburan berulangkali hidup lepas dari genggaman
serupa maut genit mengintai
tetapi bukan kematian kumaksudkan, barangkali jahitan
yang tanggal, memberaikan impian-impian
menjadi gerbomg panjang luka-luka tercecer
sedangkan engkau jauh dan aku terlalu tua untuk berjalan

Pelayaranku, lihatlah
Angin menyihir ombak menjadi gelombang
menampar bibir waktu. Malam bergulung badai

beribu-ribu camar berkeliling melengkingkan terompet
“kayuh! kayuh!” seperti kegaiban terus bersuara
menghantam cuaca, membalik harapan
maka untuk cinta aku pun terus
karena seribu tali gantungan pu tak akan menjemput matiku
kecuali engkau o, kekasihku yang jauh!





Tahun, 2000



DI DEPAN PINTU
Karya: Ulfatin Ch.


1
Di depan pintu
segala ketuk menyatu
bulan membuka
malam
memanggil aku

2
Di depan pintu
yang ketika daunnya terbuka
selalu kutemukan jalan
matahari.
Suaranya gemerincing
bagai membuka sayap malam
di dalam mataku






Tahun, 2000





NEGERI CAHAYA
Karya: Cecep Syamsul Hari

Kepada lukisan Manannor
Pada sehelai kanvas
Duka menghentikan waktu
Malam selalu terangdan menunggu
Maut menarik batas

Namun langit jugalah yang kekal
Pohon-pohon tanpa nama
Warna pastel mengandung cahaya
Cinta menangguh ajalseorang gadis bergigi kawat
Menggenggam candu
Angin mengucap pusar yang dalam
Goresan kuas lebih runcing dari hujan
Garis melengkung, laut mengepung
Dan berikutnya nestapa tak berkesudahan

Kemana dia pergi?
Siapa yang menutup pintu?
Mengapa dari tubuh manusia yang dibakar
Tidak tumbuh bunga?
Di negeriku darah tidak harus merah
Dan tinju bisa lebih kekar dari batu
Matahari kadang-kadang berwarna hijau
Orang-orang berjalan tanpa kepala
Terkurung badai ganas
Dan teluk yang menganga
Di atas sampan oleng
Seekor singa menjadi pertapa
Berilah nama-pohon-pohon itu
Seperti kenangan dan senja
Bukankah ceri ungu
Lebih ranum dari payudara
Mengapa dia pergi
Mengapa kehilangan begitu sunyi
Karena langit mungkin kekal
Dia tak pernah kembali
Di sehelai kanvas
Kau hentikan waktu
Menjaga malam terang
Menimang negeri cahaya
Tahun, 2000


DI ATAS DANAU
Karya: Ulfatin Ch.


Mungkin masih ada
mata air di sini.
Dulu kami sudah menemukan bulan
atau bayangan kami di atasnya
hingga danau kering
dan melenyapkan bayangan kami

Tangan kami patah
bibir kami pecah
hanya mimpi in gin berlayar.
Salain bayangan di antara pohon
tak ada yang mengibur kami
dan rasa lelah mengenangkan masa lalu
yang tinggal ceruk yang kosong







Tahun, 2000



MEGATRUH BANDUNG
Karya: Rendra

Bulan berdarah
Dalam prasasti sejarah
Ilalang bergoyang
Lagu malam
Hutan priangan
Pisau kiriman angina
Selendang sutra alam gaib
Mama!
Bau lembut yang dalam
Dari kulit kudukmu
Merah jambu putting susu
Dari nyanyian sepanjang masa


Tahun, 2000



DI BATAS KAMI BERDIRI
Karya: Ulfatin Ch.


Di batas klami berdiri
mengepalkan tangan. Angin pun gelisah.
Mereka yang hidup setelah kami mati
akan mengenang peristiwa ini.
Air mata pertikaian lekat di atap
rumah kami yang hitam
mengingatkan mereka, jiwa kami yang lemah.
Jiwa yang tak mampu bicara damai.
Meski kami, yang masih muda tak mengerti
tapi, kami harus berani.
menanam perang dan menyalakan api










Tahun, 2000



SUATU SABTU UDARA SEPUCAT LAMPU
Karya: Moh. Wan Anwar



di rangkasbitung, suatu sabtu
udara sepucat lampu
laron-laron menggigil
sebelum gerimis turun dari dukamu
       
—dulu di sana, di losmen pinggiran dunia kaya
dalam musim dingin dan anggur tandas
sampai nurani —pamong pengisah itu
menuangkan gelisah-gelisahnya
kata-kata dikuliti, tulang iga yang kurus
menyembul di samping golok

tapi seperti kini masih kausaksikan
rangkasbitung masihlah malam
isyarat gawat berkelebat di cakrawala
       
—si pengisah itu multatuli —adlah kau juga
gerah memandang gubuk kirai menjuntai
tempat saijah-adinda dulu tercerai

kau tulis sajak tentang ternak
emas dan padi yang lenyap sebelum gelap
mekar kota-kota utara dan timur laut
di bentangkan jarak yang menggoyangkan
tanggul sunyi air mata
       
—mungkin si gelisah itu termangu —seperti kau
dan aku, mengembarai hutan-hutan
yang disulap bagai mainan. Di rangkasbitung
suatu sabtu, udara sepucat suara kita





Tahun, 2001




DALAM DERU WAKTU
Karya: Moh. Wan Anwar

dalamderu waktu, dulu, air di ladangmu membasuh
luka usia. Bulir-bulir padi musim panen
sayur mayur, juga hatimu, merunduk ke hening tanah
pada mekar kata yang tumbuh di lenguh kerbau
dan larik pantun —ibadah yang membumbung
ke lelang gunung. Dulu di sini bunyi hujan
dan gerak cangkul bersahutan dengan detak jantung
zikir yang meningkahi kecapi —menerjemahkan sepi

dari balik jerami atau mimpimenjelang pagi
kini mengalir percakapan liar di luar secangkir kopi
sepi pun mengerang diantara gelepar pipit
dan gelegar diam dari traktor yang meradang
sejak itu siang tak lagi panjang, malam renta
diseret jadwal kerja. Di ladangmu tanah lalu
berkisah Kain dan Habil saat risau mengaum
di sungai kering. Sepi menepi, lengang menegang
membayangkan yang mungkin hilang

dalam deru waktu, di bentangan luka mata kata
tak ada lagi kecapi—kini sepi menyanyi sendiri
tertatih-tatih mengeja huruf-huruf di langit
yang menguap dari sumur air mata petani

Tahun, 2001



SETELAH MAWAR
Karya: Ulfatin Ch.

Setelah mawar
Apalagi yang dapat dirasakan perih
Durinya.
Disaat menaiki bukit abwa
Di antara guguran daun cemara
Tangan melambai cahaya.
Seperti pipit jauh meninggalkan sarang
Rindu ditanam

Tahun, 2001


PEREMPUAN MALAM
Karya: Ulfatin Ch.


Subuh dengan embun d tangan
engkau hanya akan mengenangnya
dalam sebuah nyanyianperjumpaan di dalam tidur
yang diwarnai gelombang malam

perempuan malam, bunga alamanda
aku mungkin ingin mencarimu
di balik patung
dan kutemukan nafasmu sudah hilang









Tahun, 2001



KAU, LAUT, DAN KATA
Karya: Moh. Wan Anwar

Di geladak sudah tercium kata-kata
anyir seperti bangkai, di antara bayang-bayang
kausebut nhidup adalah perjudian dan entah siapa
entah dimana seseorang mengangguk
untuk yang tak terbaca

kau mengarungi lautan, dengan riang
menjemput yang akan datang. Kaukutuk masa silam
sambil merapikan rambut dan kenangan
kapal melaju, sunyi merambat jauh
ke palung-palung di batinmu

di dasar laut bisa saja takdir semacam gurita
kemana kau berlayar, ia akan mengantar
setia bersama waktu yang tak letih berkibar
di angkasa burung-burung terbakar
dibidik terik dan gerimis. Di lengkung langit
cakrawala menuju waktu, mengepungmu
sampai senja berakhir, sampai luka tak lagi ngalir

tetapi apakah artinya senja? Tak lain adalah waktu
berkesiur di tengah bakau dan buih ombak
hingga memutih sayapnya, hingga mengeras dagunya
menantimu ketika telah lenyap segala kata

dan aku --tahukah kamu?-- akulah gurita itu
senja dan waktu yang kausebut sebagai kepulangan

Tahun, 2001

KOTA KEMBANG, BANDUNG DISAYANG
Karya: Agus R. Sarjono

Kucari jejak paris nan manis disetiap sudut kota
Bandung, kembang disayang, tanah Priangan jelita
Bagai kerling gadis-gadisnya. Tapi tak ada
Jejak Paris disini . Kota telah jadi labirin
Tempat hati baik dan cinta tersesat
Pada berjuta-juta panti pijat.
Sandiwara-sandiwara indah tersayang di Rumentang siang
Menjelma jadi tragedi di luar tembok penguasa
Berpindah jadi komedi di gedung-gedung kota praja
Dan dewan-dewan perwakilan. Masih bisakah kucari
Jejak Paris pada gedung pertunjukan yang kotor
Dan lapuk serupa nurani para koruptor?
Atau pada perpustakaan yang kosong dan berdebu,
terminal-terminal yang tak terurus
atau wajah-wajah gelandangan yang kurus?
Kini tak berani lagi kuharapkan wajah
Paris disini, kota puisi dan berjuta lukisan
Tempat orang-orang sederhana bisa jadi bangsawan
dalam hati dan pikiran maka akupun menyendiri
menikmati kupat tahu disudut desa sayati
sambil bertanya-tanya tak henti-henti, siapa
yang mengubah kota kembang indah disayang
menjadi tempat parkir raksasa
yang tiap lima tahun sekali orang-orang berebut
untuk bisa dipilih menjadi bosnya?



Tahun, 2001



KAU
Karya: Soni Farid Maulana

Memang di musim salju
Tak bunga kuncup walau sepucuk
Tapi di dasar kalbuku ; kau setangkai angkuli
Mekar sudah.

Malam hanya angin dingin
Mengetuk-ngetuk jendela kamarku,
Menggigilkan pepohonan. Tapi bara
Yang kau taruh dalam hatiku; brekobar

Menjelma api, menghangatkan pikir dan rasa
Mencairkan gairah hidupku yang nyaris beku
Sepadat batu. Di lain waktu kau adalah arus air

Mendenyutkan sungai yang dikerontangkan
Terik matahari. Kau arah yang kutuju
Bebas dari kehancuran
Tahun, 2001


SETELAH MAWAR
Karya: Ulfatin Ch.


Setelah mawar
apalagi yang dapat dirasakan perih durinya.
Disaat menaiki bukit abwa
di antara guguiran daun cemara
tangan melambai cahaya.
Seperti pipit jauh meninggalkan sarang
rindu ditanam









Tahun, 2001




BIOGRAFI ASBAK KAYU
Karya: R. Timur Budi Raya

Asbak dari kayu yang kau bikin kemarin
tadi pagi masih begitu dalam mengndapkan kenangan
ketika engkow sesahabat akrab sekali bercakap semalam

Tadi siang asbak kayu itu terbakar juga jadi arang
ketika engkow sesahabat saling berkorban senapan
dan bertikaman tatapan setajam maata pedang





Tahun, 2001



SELAIN LAUT
Karya: Abdul Hadi
Suatu sore aku duduk
Mengenang kisah itu kembali antara kita
Sebuah laut dan rerontokan tiram
Mereka semua berdiri dan memanggilku
Cahaya kabur, ombak gaduh yang tak pernah diam
Dan bintang laut yang jari-jarinya lunglai
Mereka semua memanggilku dan menjerit-jerit
Hingga aku tak mengenalnya kembali
Apa masa lalu itu? Kemana salur-salurnya
Merambat dan hari-harinya yang keemasan disimpan?
Mengapa hanya kekecewaan dan kesedihan-kesedihannya yang sering datang?
Seperti potret kusam kenangan hitam
Atau keinginan yang sekonyong-konyong padam
Ku buka ruang itu tak ada seorang pun disana
Kecuali derak pintu yang menua dan gema kosong
Serta bumi dan waktu denagn kelaparan yang menghantu
Semuanya mendekat ke arahku
Tapi tiba-tiba sebuah tangan
Tiba-tiba datang dan menarikku
Sekuntum duri yang merekah menebarkan kisah-kisahnya
Seperti untaian kesia-siaan dan kehancuran yang kembali
Seperti sederet kamar tanpa jendela dan kunci
Dari mana kita berangkat dan akan berangkat
Seperti sebuah teka-teki, namun akrab sekali
Di mana bertemu yang hidup maupun yang mati

Atau marilah kita ingin ini, kita kenang
Cinta yang tak dapat kita uraikan dengan nafsu dan kata
Pun tanpa nama, kegagalan dan perjalanan pedih tiap sejarah
Serta bersimbah darah. Dan sahabat-sahabat setia
Yang akan berkumpul menangisi kita
Pada hari kematian, dalam hati
Lalu kabur dan menghilang dalam kegelapan
Meninggalkan jejak-jejak yang membingungkan
Semua ini cukup mengharukan

Atau kalau kita ketam
Buah pohon kita yang lebat dan sekaligus kerontang
Akan terasalah perjalanan kita yang tersaruk-saruk namun menyenangkan
Dimana kecemasan tetap tinggal sebagai kecemasan
Kebebasan sebagai kebebasan dan siksaan sebagai siksaan
Selain laut yang luas sebagaimana tiap-tiap kesepian
Tahun, 2001

ORANG BERKACA MATA
Karya: Moh. Wan Anwar

Orang berkaca mata itu memandangi
patahan kubah dan puing istana
dalam peta lusuh tulisan tangan
ia tersenyum, disenyuminya nelayan
dengan perahu yang hilang amis
berkata: “segala nikmat adalah keringat
dan berkah gerak lengan”

ketika banjir datang —orang-orang
panik— ia berada di menara, katanya
terikat untuk rakyat. Debam tanggul hancur
serak orang seperti sorak
tak terdengar olehnya
ia tersenyum, mengira
dermaga sibuk dengan lelangan

dalam peta lusuh tulisan tangan
seluruhnya tinggal kenangan
“hei, kau yang terikat di menara
berhentilah menjaring kata di angkasa!”
dan ketika orang berkaca mata itu kuyup
ditelan bah, baru tahu bahwa perahu
lebih berharga dari seribu rindu

kini ia, para nelayan, dan orang-orang
sibuk menjaring kata
mengusir malapetaka
Tahun, 2001

TERINGAT RUMAH
Karya: Tjahjono Widarmanto

Sepasang terompah telah lusuh
Usang dan capek bicara dengan jalanan lengang
Dipaksa mabuk sepanjang malam
                         Kenanglah kembali
Sebuah alamat di kertas surat lusuh
Dengan sungai mengalir pelan
                         Seperti : air mata
Basulah kelelahanmu
Sekaligus sendumu yang tak pernah tuntas berwarna tua
                         Sudah saatnnya bayang-bayangmu
                         Berbaring di situ. Di ruang tengah yang hangat
                         Ditemani secangkir kopi.
Sudahilah gelisahmmu
Angin malam tak baik buat mata yang renta
Sejarah sudah cukup ditulis
Dan namamu: sudah terpahat di sebuah prasasti!

Tahun, 2001



PAGI KESEKIAN
Karya: Tjahjono Widarmanto

Kutemukan diriku, masih saja asing dan sunyi
Tanpa secangkir kopi atau bekas pagutan di leher.
Sementara, di jalan-jalan anak-anak muda itu telah jadi pemabuk
Mengigau dengan impian-impian panjangnya, tentang bunga dan roti
Sambil melempar-lemparkan petasan dan granat di setiap perempatan.

Kutemukan diriku. Masih saja asing dan sunyi
Di antara langit kelabu dan hiruk pikuk Koran pagi
Menjejalkan orasi politik, konsultan seks, atau sajak-sajak cengeng
Sedang di jalanan anak-anak muda itu masih saja mengigau
Bermimpi tentang bunga dan roti sambil membakari kota-kota
Dan meruntuhkan perpustakaan dan museum-museum

Pagi apa ini?

Ketika masih sunyi, langit telah begitu lelah
Dan, seekor anjing melolong panjang
Menyembunyikan kepalanya yang pecah berdarah!

Tahun, 2001



ANGIN BULAN MARET
Karya : Indra Tjahyadi


Dari dalam gelombang, jiwaku
yang tak berdaya melontarkan guntur.
Jalan-jalan iklim bersiul, mengukuhkan
pilu. Samadi kemiskinanku mencari-cari
rambut panjangmu. Di langit, kilat
meledak. Para pengemis memayungi
mataku dengan kabut. Darah-darah hitam
para pemabuk mencambukkan kilat-
padat: melebihi susumu.

Kanak-kanak tikus memancarkan
aroma sampah perunggu. Bangkai-bangkai
kusta malaikat membakar sejarah rumah
para penyamun. Kenanganku dibentuk
dari tahi-tahi perusuh, dongeng-dongeng
kelelahan laut mengingatkan kembali kesedihan
zaitun. Aku mencibir, tapi kau begitu cantik
dengan pipi berlesung taifun.
Angin bulan maret yang mengijingi
mimpi mendirikan candi-candi musim.

Labirin pohon-pohon kerdil digithik
gerhana, menyerupai sihir. Jurang sunyi
yang curam menyimpan makam tangis petir.
Barangkali memang telah selesai urusanku
dengan hidup! Betapa tubuh mungilmu masih
saja kurindukan sepanjang kelu. Seluruh nostalgia
kini karam-hijau-pipih. Burung-burung camar
binasa di ujung pantai, membisikkan nasib.
Kau tatap mayatku sekali lagi. Kesialan begitu
jernih menamaiku dengan sepi.

Tahun, 2002



DERMAGA RINDU
Karya : Moh. Hamzah Arsa


Alangkah ramah pohon-pohon
trembesi
mengusap galauku kala matahari

yang kutunggu di ubun waktu
hanyalah sunyi orkesta piano masalalu
kupetik langit-langit kesadaranku

dengan jemari gerimis saat kuketuk
pintu masa silam anak-anak
langit biru lautpun biru

amboi, kapal-kapal zaman dulu
kau tambatkan di hati pelangi
kini melayarkan selaksa naluri
ke dermaga rindu.






Tahun, 2002


TIDAK UNTUK DIPINJAMKAN
Karya: Eriyadi Budiman

Nadoman itu berdentung mengulum sore yang basah dan calon
Pengantin yang ranum: seorang laki-laki dari seberang kota batik
Yang menyeret kenangan unik di awan rambutnya.
Ia telah membakar pohon kering diujung jalan dan
sebuah bintang hijau yang baru tumbuh: kedalam lautan cahaya.
Ia pun terbakar bertahun-tahun, menyeret peti mati dengan sajak-
Sajaknya yang belum pernah diterbitkan
Ia keramas setiap banjir meluap dari matanya. Peperangan meletus disetiap pori-porinya. Membongkar jantungnya yang telah menjadi kuburan.
Lelaki itu penikmat musik hitam, film
eksotis, cerita-cerita parodi, dan lukisan yang digores dengan
ujung belati.
Di depan bunga matahari ia membunuh sepi dengan permen. Di depan bunga matahari lelaki itu
membakar penantiannya dengan sebuah konser tentang kesetiaan.                                      
Ada sesuatu yang tertunda: lelaki itu menebusnya. Ada sesuatu yang kelabu:
lelaki itu ingin memutihkannya.ada sesuatu yang biru: lelaki itu
ingin mengecupnya.
Di sore yang lumat oleh hujan itu, seorang perempuan menanam padi diatas mesin tik, dan lelaki itu membajaknya. Lelaki itu kemudian mengisi teka-teki silang yang
Baru dipahaminya
Di belakang tiga ekor kijang pada
Karpet, lelaki itu mengendurkan sarungnya. Memasang stiker
“ Tidak untuk Dipinjamkan”. Pada pintu kamar lelaki.





Tahun, 2002


GUBEUR TENIS
Karya: Jimmy Maruli Alfian

siapa yang tahu
kalau kita akan saling bunuh sewaktu-waktu
karena memang ada sisa peluru
yang siap tertarik oleh pelatuk masa lalu
dalam setiap kejadian
yang nampak hanyalah tubuhmu telanjang
merupa selembar daun coklat
tanggas karena angina begitu cepat
tetapi seperti kun fayakun yang selalu kita gandakan
di ujung gelisah
maka ada juga belati yang setiap pagi harus diasah
mungkin maut juga akan kerap mampir ke lobi hotel
menunggu kita yang sejak sore berdekap
dalam selimut warna pastel
terlebih lagi angin kemarau
selalu menggoyangkan dedaun merbau
maka kita tak pernah bias pulas
sebab ketakutan setiap malam jatuh deras
dan ada beberapa senjata yang sudah kita siapkan
selain radio dan televisi yang acap menawarkan kesangsian
kita tahu, Qabil yang mengajarkan ini semua
ketika ia resah mengeja senja pada album keluarga
tapi apakah benar kita tak takut untuk saling kehilangan
sementara tampak kejauhan
orang-orang di stasiun risau pada jam keberangkatan?

maka siapa yang tahu kita akan saling bunuh sewaktu-waktu
seperti kau hunjamkan duri mawar dari pelipisku  saat pertama bertemu





Tahun, 2002


RUMAH KENANGAN
Karya: Nenden Lilis

Seorang tanpa rumah tak bisa pulang kemana-mana
Kecuali pada kenangan di pohon jambu klutuk
Pada ibu-bapak rentak yang terpekur di kamar berdebu

Lemari kusam itu masih dirasa miliknya
Meski lubang kuncinya macet, pintunya tak bisa
Menutup, cerminnya memantulkan bayangan lonjong

Bekas tanah di cangkul dan baju berlumpur yang
Menggantung dibalik dapur juga
Seperti sisa hatinya
Meski selalu ada yang terasa tumbuh
Seperti pohon apel di pohon belakang
Daunnya rangkas dimakan ulat
Atau pohon delima, buahnya belah sebelum masak

Tapi seorang tanpa rumah ingin tinggal
Meski tak tahu, masih adakah yang rindu,
Masihkah ada yang menunggu?

Ia hanya tahu
Hidup sesungguhnya sendiri



Tahun, 2002



MENANTI LEDAKAN
Karya:Ismet N.M. Haris

Kau pergi, dan burung-burung pun
Berhamburan di dadaku. Mengaji gelisah hari
Mencari daerah persembunyian paling sepi
Daun-daun gugur, gugusan bintang menyisih dalam
Hutan pikiran, dan ribuan anak panah melesat
Menembus semak kerinduan, lalu kau pun tau
Di antara perselingkuhan angin merangkum kelam
Aroma ajal menjalar bukit keterasingan
Langit jadi kian gemetar mengucurkan daerah bulan
Dan seekor katak melompat di lubuk hatiku
Yang jauh. Seperti birahi terjaga disergap badai
Dan hujan deras kenangan.

Kubiarkan pohon harapan tumbang
Bersama detik-detik yang berjatuhan. Tangis bayi
Bersekutu dengan udara dingin, menampakkan
Tabiatnya menyebut nama-nama yang telah kulupa
Seekor kumbang tiba-tiba berdengung di kepala
Tetapi aku luput menyambutmu dengan tarian yang
Memabukkan. Bahkan ikhtiar embun menetas
Gagal meresap tanah kesabaran, karena hembusan angin
Menghempaskannya ke lautan duka
Sedang di angkasa raya ratusan peri menarik untuk
Rasa kesia-siaanku berulang diguncang gempa
Tinggal sisa ciumanmu kekal membuatku bertahan
Menanti ledakan tak terduga

Tahun, 2002



SAJAK JONGGRANG DI TELEVISI
Karya:Jimmy Maruli Alfian

Menjelang sarapan pagi
Kulihatwajah kekasih merupa batu di televisi
Matanya membeliak, menanti jawab sang pemahat
Alangkah garangnya roro jongrang
Apakah sudah terlalu lama ia menanti di bibir ranjang?

Persis pada bagian
Akhir gambar pariwara mentega dengan cekatan aku sodorkan beberapa buah dunia
Bulan basah sepanjang daratan
Atau surat kawat yang menghantar utuh terus berdekapan
Hemari matahari tak lagi mengamit piggang
Seorang gadis dalam sebuah sandiwara
Kulihat sepi kalian mengecil pada kelopak matanya
Tercium angin berbagai rasa dengan bilah-bilah palma
dan garam cuaca melepaskan hujan
Atas sebuah persetubuhan

Maaf saluran tak dapat dipindahkan !
Tahun, 2002
HUJAN GERHANA
Karya:Indra Tjahyadi

Hujan gerhana. Tahun-tahun mengerat.
Kesunyian menggertakkan taring
Taringnya ke cakrawala. Aku tertidur dengan mata
Terjaga. Bintang yang sendiri menghajar mega.
Tengadah dengan batu-batu berkobar menentang
Awan, pulau-pulau tak bernyawa bernafas
Dengan bayangan. Jalan-jalan cadas yang licin
Berkilauan dalam kelam

Serangga-serangga malam memecahi jejek,
Menggasak jarak dari kejauhan. Aku
Temukan lagi kata-kata yang hilang, rumah-rumah
Pembiakan mimpi buruk yang kusam memasuki lubuk
Hati penciptaan. Battalion-batalion
Liar kekosongan meneteskan noda karat
Ungu debu-debu samun cahaya. Aku hadir
Bukan sebagai ujud,
Melainkan warna merah
Kepulan-kepulan asap. Angin
Dari segala arah helai demi helai
Menyerpih, luruh ditanah jadi larva.

Rasakanlah cabikanku curam, memburaikan
Pusat asal-usul segala keindahan. Bumi
Maya, tapi aku berjalan mundur diatas secarik garis
Lurus yang melengkung dalam ingatan. Malaikat-malaikat
Pucat, mendelik dalam pengap. Ajal dan ketelanjangan
Membentangkan selimut taufan.
Aku gelap, kalbuku lungkrah, fantasiku
Mengobarkan kejahatan. Aku berada diantara
Segalanya. Sejarah datang dang pergi serupa hantu,
Membelah pelupuk farji fajar. Sesungguhnyalah aku
Tak berada dimana-mana. Seteguk ledakan sepi menyemai
Gelombang. Aku moksa tanpa impian.
Begitu saja déjà vu tanpa penampakan,
Senantiasa sekarat di hari-hari lain serupa
Waktu dan ketiadaan

Tahun, 2002



ANTARA KANTOR BERITA DAN WARNA
Karya:Jimmy Maruli Alfian

Ketika matahari jatuh pada lantai galih
Ayah mengganti televise berwarna dengan hitam putih
“agar segala ihwal dapat diterima dengan jernih
Kalau tidak hitam, ya putih”
Sambil menjelma hilter ayah berdalih

Tetapi,

Aku tek mau kehilagan rupa warna
Ideology bagaimana, took kosmetik dengan senyum dara
Berbuir-buir padi beranjak dewasa
Adalah komposisi sejati
Tempat aku bias luput dari aroma ketiak perempuan sendiri

Meski akhirnya warna Cuma memoar
Karena darah pada tubuh memar dan beberapa kelopak mawar
Dilayar televise terasa tawar

Tahun, 2002
DI ATAS PANGGUNG
Karya: Ismet N.M Haris

Sinar bulan
Memantulkan wajahmu
Dibasuh puncak-puncak ombak

Di atas panggung
Tubuhku diguyur hujan
Kesia-siaan

Karena kau pergi
Sebelum pesta berakhir

Subuh pun hadir dan
Mengalir, tapi tak sampai
Ke hilir!

Tahun, 2002




POKOK BUNGA
Karya: Ulfatin Ch.

Di atas pokok bunga
Angin bersiut landai.
Bulan gemerincing
Mengulurkan tali-talinya
Di atap rumah kita menyala.
Kau tau, malam itu
Tak ada api di sini
Tak ada lilin juga korek api.
Tapi di sini ada sepotong angin
Dan sebatang pohon
Yang gugur daunnya

Tahun, 2002




KETIKA AKU MASUK DALAM RUMAHMU
Karya: Ulfatin Ch.

Ketika aku masuk dalam rumahmu
Kau telah pergi meninggalkan rumahku.
Dibibir jendela hanya ada alamat
Tanpa jendela
Aku pun pulang tanpa rupa

Tahun, 2002



PETA-PETA ROBEK
                           Karya:Iyut Fitra

Di puncak doa-doa, telah berabad-abad rasanya kuarungi pendakian
sendiri dan terlunta
tapi ketika danau itu kutemukan
kita terlalu pasih bermimpi, dan orang-orang seolah kerajingan membakar bendera
suaramu lirih dalam bahasa malam yang sulit kutangkap
di antara jutaan laron di tiang-tiang merkuri, aku ingin kunang-kunang,
katamu. Aku, Amelia! Gadis yang mengungsi dari negeri perang
dan di sini pun

Ternyata
bedil-bedil senantiasa siap diletuskan
lalu air matamu menjelma helaian peta-peta robek di layer televisi

Suatu siang, tangismu itu pun tumpah di kamarku
di ranjang ungu yang selalu kusut setiap hari menjelang senja
berbaringlah! Kemudian kubaca dadamu, garis-garis yang terkekang, sesayat luka
pecahan mortar yang meruntuhkan kepercayaan orang pada cinta
Aku, Amelia! Gadis yang kemudian lupa menangis
berikanlah ciuman yang abadi di sini, di bibirku yang tak lagi bergetar
sebab orang-orang telah mencurinya ketika tuhan entah di mana

aku tak membangun jawaban
namun begitu saja telah kukisahkan tentang setangkai bunga lembayung
yang akan kutanam di jantungmu, untuk anak-anak kita kelak
agar mereka delalu percaya pada cimta,
bisikki malu-malu


Demikianlah, dan masa lalu yang kau bakar habis
dan danau yang baru saja kutemukan. Aku , Amelia! Gadis yang tumbuh dalam mimpi baru
kini berlayar di tengah laut tak bergelombang
tapi, orang tuaku tak suka pada lukisan kita, katamu bagai badai
Tiba-tiba kurasakan perang seperti kembali menyala
dan Tuhan entah di mana

Tahun, 2002


PINTU
Karya: Ulfatin Ch


Pintu-pintu
biarkan ia membuka
dan menutup sendiri
daunnya
seirama angin yang membuai
dimusim kemarau
Pada setiap yang lewat
pasti akan menyentuhnya
begitu juga kau








Tahun,2002



BULAN BATANG-BATANG
Karya: Sofyan RH. Zaid


Biarkan malaikat kecil itu, perempuan
terus meliputi peristiwa dari puing reruntuhan waktu
ketika sepatah kata dari wasiat cinta yang kita puja
tiba-tiba moksa dimangsa malam dan terbitlah!

Bulan batang-batang
Putik perak kemerahan cahayanya
seperti bibirmu berkilau
memukau orang-orang bersamaan,
meneguknya bercawan-cawan dan sakaw

Lalu mereka lupa menusuk matanya sendiri
dengan peniti emas Puteri Jenang
setelah seribu satu kali kalimah syodoh ditembangkan bersama
sambil mengintip tanpa kedip,
dari lubang jarum paling lancip
menyerupai Dhamar atau Jenar
bertumpu pada kaki tunggal

;Darah pun mengalir mewarnai riak Lombang,
membercaki desa-desa, gunung
serta gua tempat dulu raja bertapa
memperoleh adjisaka

 Sementara bulan makin liar melacuri Sumekar
(anak-anak jadah lahir isaknya mencubit-cubit kesadaran)
inikah peristiwa yang kita lupa?

Lalu aku menjawabnya pada lembar pasir
dengan za’faran takdir menjadi syair bersihir
yang dilarang kau baca berulang-ulang
takut semua akan pingsan!

Cukup sekali saja, dan mengalirlah
ke tujuh latipah laut atau sebuah Tamansari
karena hanya air mengalir yang bisa jernih
Dan malaikat kecil itu, perempuanku
berdwikramah seperti rindu, Gemuruh!

Tahun, 2002


SESUATU TERASA LAIN
Karya:Juniarso Ridwan

Sesuatu terasa lain. Subuh yang mawar,
langit erat mendekap tanah,
daun-daun membisikan kehidupan.

Rumah. Serupa pijar dalam kelam
anak-anak berselawat di surau,
air di ketinggian memoles batu,
hanya kerinduan yang berkecambah.

Di ranting ekalipsus detik menyusut,
daun-daun gugur disapu angin,
tanah memantulkan kelabu,
jantung pun mulai menghitung was-was.

Tahun, 2002




MENGARUNGI SENJA
Karya: Juniarso Ridwan

Rombongan walet telah menghapus siang,
perlahan ombak menghindari pantai,
tapi asin laut merindukan gunung,
dan temaram jingga menjadi jubah kemarau.

Bagaikan jumroh al-’aqabah,
batu-batu mengalir dalam takbir,
menggetarkan bumi dalam warna coklat.

senja. Angin memahat tebing,
pohon-pohon semakin melupakan tanah,
dalam irama mematikan,
lubang-lubang menganga di tempat yang jauh,
dan kata-kata berpendar di dada yang keropos.

Tahun, 2002



MELINTAS UTARA
Juniarso Ridwan

Apa yang harus dipikirkan,
selama menyelam di dasar batu,
selain memahami ke mana angin berlari.

perjalanan menembus hutan,
pohon-pohon setia mengikuti gerak matahari,
sedangkan angina terus mambawa berita musim.

kaki pun bercerita tentang sejarah tanah:
“ laditulakraka langiq,
ladimanang ngairaka,
ladirande palaqraka?”

di tapal batas wilayah,
nama pun harus dilupakan.

Tahun, 2002