Sabtu, 09 Oktober 2010

sejarah sastra indonesia


Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan:
•Pujangga Lama 
•Sastra "Melayu Lama" 
•Angkatan Balai Pustaka 
•Pujangga Baru 
•Angkatan '45 
•Angkatan 50-an 
•Angkatan 66-70-an 
•Dasawarsa 80-an 
•Angkatan Reformasi 
Secara metode penyampaian sastra Indonesia terbagi atas 2 bagian besar, yaitu: lisan & tulisan
Pujangga Lama
Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di Indonesia di dominasi oleh
syair, pantun, gurindam dan hikayat.

Karya Sastra Pujangga Lama
•Sejarah Melayu 
•Hikayat Abdullah - Hikayat Andaken Penurat - Hikayat Bayan Budiman - Hikayat Djahidin - Hikayat Hang Tuah - Hikayat
Kadirun - Hikayat Kalila dan Damina - Hikayat Masydulhak - Hikayat Pandja Tanderan - Hikayat Putri Djohar Manikam -
Hikayat Tjendera Hasan - - Tsahibul Hikayat 
•Syair Bidasari - Syair Ken Tambuhan - Syair Raja Mambang Jauhari - Syair Raja Siak 
•dan berbagai Sejarah, Hikayat, dan Syair lainnya 

Sastra "Melayu Lama"
Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 - 1942, yang berkembang dilingkungan masyarakat
Sumatera seperti "Langkat, Tapanuli, Padang dan daerah sumatera lainnya", Cina dan masyarakat Indo-Eropa. Karya
sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat.
Karya Sastra "Melayu Lama"
•Robinson Crusoe (terjemahan) 
•Lawan-lawan Merah 
•Mengelilingi Bumi dalam 80 hari (terjemahan) 
•Graaf de Monte Cristo (terjemahan) 
•Kapten Flamberger (terjemahan) 
•Rocambole (terjemahan) 
•Nyai Dasima oleh G. Francis (Indo) 
•Bunga Rampai oleh A.F van Dewall 
•Kisah Perjalanan Nakhoda Bontekoe 
•Kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan 
•Kisah Pelayaran ke Makassar dan lain-lainnya 
•Cerita Siti Aisyah oleh H.F.R Kommer (Indo) 
•Cerita Nyi Paina 
•Cerita Nyai Sarikem 
•Cerita Nyonya Kong Hong Nio 
•Nona Leonie 
•Warna Sari Melayu oleh Kat S.J 
•Cerita Si Conat oleh F.D.J. Pangemanan 
•Cerita Rossina 
•Nyai Isah oleh F. Wiggers 
•Drama Raden Bei Surioretno 
•Syair Java Bank Dirampok 
•Lo Fen Kui oleh Gouw Peng Liang 
•Cerita Oey See oleh Thio Tjin Boen 
•Tambahsia 
•Busono oleh R.M.Tirto Adhi Soerjo 
•Nyai Permana 
•Hikayat Siti Mariah oleh Hadji Moekti (indo) 
•dan masih ada sekitar 3000 judul karya sastra Melayu-Lama lainnya 

Angkatan Balai Pustaka
Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 - 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel
cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam
khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh
sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar).
Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan
dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.

Pengarang dan karya sastra Angkatan Balai Pustaka
•Merari Siregar 
oAzab dan Sengsara: kissah kehidoepan seorang gadis (1921) 
oBinasa kerna gadis Priangan! (1931) 
oTjinta dan Hawa Nafsu 
•Marah Roesli 
oSiti Nurbaya 
oLa Hami 
oAnak dan Kemenakan 
•Nur Sutan Iskandar 
oApa Dayaku Karena Aku Seorang Perempuan 
oHulubalang Raja (1961) 
oKarena Mentua (1978) 
oKatak Hendak Menjadi Lembu (1935) 
•Abdul Muis 
oPertemuan Djodoh (1964) 
oSalah Asuhan 
oSurapati (1950) 
•Tulis Sutan Sati 
oSengsara Membawa Nikmat (1928) 
oTak Disangka 
oTak Membalas Guna 
oMemutuskan Pertalian (1978) 
•Aman Datuk Madjoindo 
oMenebus Dosa (1964) 
oSi Tjebol Rindoekan Boelan (1934) 
oSampaikan Salamku Kepadanya 
•Suman Hs. 
oKasih Ta' Terlarai (1961) 
oMentjari Pentjuri Anak Perawan (1957) 
oPertjobaan Setia (1940) 
•Adinegoro 
oDarah Muda 
oAsmara Jaya 
Sutan Takdir Alisjahbana 
oTak Putus Dirundung Malang 
oDian jang Tak Kundjung Padam (1948) 
oAnak Perawan Di Sarang Penjamun (1963) 
•Hamka 
oDi Bawah Lindungan Ka'bah (1938) 
oTenggelamnya Kapal van der Wijck (1957) 
oTuan Direktur (1950) 
oDidalam Lembah Kehidoepan (1940) 
•Anak Agung Pandji Tisna 
oNi Rawit Ceti Penjual Orang (1975) 
oSukreni Gadis Bali (1965) 
oI Swasta Setahun di Bedahulu (1966) 
•Said Daeng Muntu 
oPembalasan 
oKarena Kerendahan Boedi (1941) 
•Marius Ramis Dayoh 
oPahlawan Minahasa (1957) 
oPutra Budiman: Tjeritera Minahasa (1951) 
Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai Raja Pengarang Balai Pustaka oleh sebab banyaknya karya tulisnya pada
masa tersebut.

Pujangga Baru
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulissastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran
kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi "bapak" sastra modern
Indonesia.
Pada masa itu, terbit pula majalah "Poedjangga Baroe" yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan
Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir
Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu 1. Kelompok "Seni untuk Seni" yang
dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah dan; 2. Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang
dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.

Penulis dan karya sastra Pujangga Baru
•Sutan Takdir Alisjahbana 
oLayar Terkembang (1948) 
oTebaran Mega (1963) 
•Armijn Pane 
oBelenggu (1954) 
oJiwa Berjiwa 
oGamelan Djiwa - kumpulan sajak (1960) 
oDjinak-djinak Merpati - sandiwara (1950) 
oKisah Antara Manusia - kumpulan cerpen (1953) 
•Tengku Amir Hamzah 
oNyanyi Sunyi (1954) 
oBuah Rindu (1950) 
oSetanggi Timur (1939) 
•Sanusi Pane 
oPancaran Cinta (1926) 
oPuspa Mega (1971) 
oMadah Kelana (1931/1978) 
oSandhyakala ning Majapahit (1971) 
oKertadjaja (1971) 
•Muhammad Yamin 
oIndonesia, Toempah Darahkoe! (1928) 
oKalau Dewi Tara Sudah Berkata 
oKen Arok dan Ken Dedes (1951) 
oTanah Air 
•Roestam Effendi 
oBebasari: toneel dalam 3 pertundjukan (1953) 
oPertjikan Permenungan (1953) 
•Selasih 
oKalau Ta' Oentoeng (1933) 
oPengaruh Keadaan (1957) 
•J.E.Tatengkeng 
oRindoe Dendam (1934) 

Angkatan '45
Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra
angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik - idealistik.

Penulis dan karya sastra Angkatan '45
•Chairil Anwar 
oKerikil Tadjam (1949) 
oDeru Tjampur Debu (1949) 
•Asrul Sani, Rivai Apin Chairil Anwar 
oTiga Menguak Takdir (1950) 
•Idrus 
oDari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948) 
oAki (1949) 
oPerempuan dan Kebangsaan 
•Pramoedya Ananta Toer 
oBukan Pasar Malam (1951) 
oDitepi Kali Bekasi (1951) 
oGadis Pantai 
oKeluarga Gerilja (1951) 
oMereka jang Dilumpuhkan (1951) 
oPerburuan (1950) 
oTjerita dari Blora (1963)
http://htmlimg1.scribdassets.com/3clqfykwd709fk/images/4-4ea9ad7da2/000.jpghttp://htmlimg1.scribdassets.com/3clqfykwd709fk/images/4-4ea9ad7da2/000.jpg
•Mochtar Lubis 
oTidak Ada Esok (1982) 
oDjalan Tak Ada Udjung (1958) 
oSi Djamal (1964) 
•Achdiat K. Mihardja 
oAtheis - 1958 
•Trisno Sumardjo 
oKatahati dan Perbuatan (1952) 
oTerjemahan karya W. Shakespeare: Hamlet, Impian di tengah Musim, Macbeth, Raja Lear, Romeo dan Julia, Saudagar
Venezia, dll. 
•M.Balfas 
oLingkaran-lingkaran Retak, kumpulan cerpen (1978) 
•Utuy Tatang Sontani 
oSuling (1948) 
oTambera (1952) 
oAwal dan Mira - drama satu babak (1962) 

Angkatan 50-an
Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya
sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan
diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra.
Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat
(Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan diantara
kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk
kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.

Penulis dan karya sastra Angkatan 50-60-an
Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada akhir dekade 80-an dengan
beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang
Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya
barat, di mana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.
•Ajip Rosidi 
oCari Muatan 
oDitengah Keluarga (1956) 
oPertemuan Kembali (1960 
oSebuah Rumah Buat Hari Tua 
oTahun-tahun Kematian (1955) 
•Ali Akbar Navis 
oBianglala: kumpulan tjerita pendek (1963) 
oHudjan Panas (1963) 
oRobohnja Surau Kami: 8 tjerita pendek pilihan (1950) 
•Bokor Hutasuhut 
oDatang Malam (1963) 
•Enday Rasidin 
oSurat Cinta 
•Nh. Dini 
oDua Dunia (1950) 
oHati jang Damai (1960) 
•Nugroho Notosusanto 
oHujan Kepagian (1958) 
oRasa SajangĂ© (1961) 
oTiga Kota (1959) 
•Ramadhan K.H 
oApi dan Si Rangka 
oPriangan si Djelita (1956) 
•Sitor Situmorang 
oDalam Sadjak (1950) 
oDjalan Mutiara: kumpulan tiga sandiwara (1954) 
oPertempuran dan Saldju di Paris (1956) 
oSurat Kertas Hidjau: kumpulan sadjak (1953) 
oWadjah Tak Bernama: kumpulan sadjak (1955) 
•Subagio Sastrowardojo 
oSimphoni (1957) 
•Titis Basino 
oPelabuhan Hati (1978) 
http://htmlimg1.scribdassets.com/3clqfykwd709fk/images/5-8b58e92c6a/000.jpghttp://htmlimg1.scribdassets.com/3clqfykwd709fk/images/5-8b58e92c6a/000.jpg
oDia, Hotel, Surat Keputusan (cerpen) (1963) 
oLesbian (1976) 
oBukan Rumahku (1976) 
oPelabuhan Hati (1978) 
oDi Bumi Aku Bersua di Langit Aku Bertemu (1983) 
oTrilogi: Dari Lembah Ke Coolibah (1997); Welas Asih Merengkuh Tajali (1997); Menyucikan Perselingkuhan (1998) 
oAku Supiah Istri Wardian (1998) 
oTersenyumpun Tidak Untukku Lagi (1998) 
oTerjalnya Gunung Batu (1998) 
oAku Kendalikan Air, Api, Angin, dan Tanah (1998) 
oRumah Kaki Seribu (1998) 
oTangan-Tangan Kehidupan (1999) 
oBila Binatang Buas Pindah Habitat (1999) 
oMawar Hitam Milik Laras (1999) 
•Toto Sudarto Bachtiar 
oSuara : kumpulan sadjak 1950-1955 (1962) 
oEtsa, sadjak-sadjak (1958) 
•Trisnojuwono 
oAngin Laut (1958) 
oDimedan Perang (1962) 
oLaki-laki dan Mesiu (1951) 
•W.S. Rendra 
oBalada Orang² Tertjinta (1957) 
oEmpat Kumpulan Sajak (1961) 
oIa Sudah Bertualang dan tjerita-tjerita pendek lainnja (1963) 
•dan banyak lagi karya sastra lainnya 

Angkatan 66-70-an
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan
ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra, munculnya karya sastra beraliran
surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dll pada masa angkatan ini di Indonesia. Penerbit Pustaka Jaya sangat
banyak membantu dalam menerbitkan karya karya sastra pada masa angkatan ini. Sastrawan pada akhir angkatan yang
lalu termasuk juga dalam kelompok ini seperti Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur
Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra
Indonesia, H.B. Jassin.
Seorang sastrawan pada angkatan 50-60-an yang mendapat tempat pada angkatan ini adalah Iwan Simatupang. Pada
masanya, karya sastranya berupa novel, cerpen dan drama kurang mendapat perhatian bahkan sering menimbulkan
kesalah-pahaman; ia lahir mendahului jamannya.
Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Akhudiat,
Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi,
Wing Kardjo, Taufik Ismail dan banyak lagi yang lainnya.

Karya Sastra Angkatan '66
•Sutardji Calzoum Bachri 
oO 
oAmuk 
oKapak 
•Abdul Hadi WM 
oLaut Belum Pasang – (kumpulan puisi) 
oMeditasi – (kumpulan puisi) 
oPotret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur – (kumpulan puisi) 
oTergantung Pada Angin – (kumpulan puisi) 
oAnak Laut Anak Angin – (kumpulan puisi) 
•Sapardi Djoko Damono 
oDukamu Abadi – (kumpulan puisi) 
oMata Pisau dan Akuarium – (kumpulan puisi) 
oPerahu Kertas – (kumpulan puisi) 
oSihir Hujan – (kumpulan puisi) 
oHujan Bulan Juni – (kumpulan puisi) 
oArloji – (kumpulan puisi) 
oAyat-ayat Api – (kumpulan puisi) 
•Goenawan Mohamad 
oInterlude 
oParikesit 
OPotret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang – (kumpulan esai) 
http://htmlimg2.scribdassets.com/3clqfykwd709fk/images/6-52387c3a85/000.jpghttp://htmlimg2.scribdassets.com/3clqfykwd709fk/images/6-52387c3a85/000.jpg
oAsmaradana 
oMisalkan Kita di Sarajevo 
•Umar Kayam 
oSeribu Kunang-kunang di Manhattan 
oSri Sumarah dan Bawuk – (kumpulan cerita pendek) 
oLebaran di Karet, di Karet - (kumpulan cerita pendek) 
oPada Suatu Saat di Bandar Sangging - 
oKelir Tanpa Batas 
oPara Priyayi 
oJalan Menikung 
•Danarto 
oGodlob 
oAdam Makrifat 
oBerhala 
•Putu Wijaya 
oTelegram 
oStasiun 
oPabrik 
oGres – Putu Wijaya 
oBom 
oAduh – (drama) 
oEdan – (drama) 
oDag Dig Dug – (drama) 
•Iwan Simatupang 
oZiarah 
oKering 
oMerahnya Merah 
oKoong 
oRT Nol / RW Nol – (drama) 
oTegak Lurus Dengan Langit 
•Arifin C. Noer 
oTengul – (drama) 
oSumur Tanpa Dasar – (drama) 
oKapai Kapai – (drama) 
•Djamil Suherman 
oSarip Tambak-Oso 
oUmi Kulsum – (kumpulan cerita pendek) 
oPerjaLanan ke Akhirat 
oSakerah 
dan masih banyak lagi yang lainnya.

Dasawarsa 80-an
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan
sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Majalah Horison tidak ada lagi, karya sastra
Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.
Beberapa sastrawan yang dapat mewakili Angkatan dekade 80-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira
Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Kurniawan Junaidi.

Karya Sastra Angkatan Dasawarsa 80-an
Antara lain adalah:
•Badai Pasti Berlalu - Cintaku di Kampus Biru - Sajak Sikat Gigi - Arjuna Mencari Cinta - Manusia Kamar - Karmila 
Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri
novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel
Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad 19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk
menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 80-an biasanya selalu mengalahkan peran
antagonisnya.
Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 80-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop (tetapi tetap sah disebut
sastra, jika sastra dianggap sebagai salah satu alat komunikasi), yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori
oleh Hilman dengan Serial Lupus-nya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca
yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih "berat".
Budaya barat dan konflik-konfliknya sebagai tema utama cerita terus mempengaruhi sastra Indonesia sampai tahun
2000.

Sastrawan Angkatan Reformasi
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gushttp://htmlimg3.scribdassets.com/3clqfykwd709fk/images/7-2cc12d0f8d/000.jpghttp://htmlimg3.scribdassets.com/3clqfykwd709fk/images/7-2cc12d0f8d/000.jpg
Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang Sastrawan Angkatan Reformasi. Munculnya angkatan ini
ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya
seputar Reformasi. Di rubrik sastra Harian Republika, misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli
bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga
didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.
Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring
dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatar belakangi kelahiran
karya-karya sastra -- puisi, cerpen, dan novel -- pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema
sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda dan Acep Zamzam Noer, juga ikut meramaikan
suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.

Sastrawan Angkatan 2000-an
Setelah wacana tentang lahirnya Sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak
memiliki 'juru bicara', Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya Sastrawan Angkatan
2000. Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta, tahun 2002.
Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk
mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira
Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami, dan Dorothea Rosa Herliany.
•Abidah el Khalieqy 
•Afrizal Malna 
•Ahmad Nurullah 
•Ahmad Syubanuddin Alwy 
•Ahmadun Yosi Herfanda adalah salah seorang penyair yang dimasukkan oleh Korrie Layun Rampan ke dalam Angkatan
2000, tapi ia sebenarnya telah banyak menulis sajak sejak awal 1980-an. 
•Ayu Utami dengan karyanya Saman, sebuah fragmen dari cerita Laila Tak Mampir di New York. Karya ini menandai awal
bangkitnya kembali sastra Indonesia setelah hampir 20 tahun. Gaya penulisan Ayu Utami yang terbuka, bahkan vulgar,
itulah yang membuatnya menonjol dari pengarang-pengarang yang lain. Novel lain yang ditulisnya adalah Larung,
lanjutan dari cerita Saman. 
•Dorothea Rosa Herliany 
•Seno Gumira Ajidarma


Senin, 04 Oktober 2010

dua kiblat dalam sastra indonesia

Dua “Kiblat” dalam Sastra Indonesia

Ada sebuah pertanyaan besar yang sampai sekarang belum ada jawaban yang memuaskan. Benarkah sastra Indonesia lahir pada 1920? Tidak sedikit pakar sastra Indonesia yang masih berpendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia dimulai pada 1920 dengan sejumlah argumentasi yang sekilas tampak mantap. Tanpa mengulang kembali apa yang telah disampaikan A. Teeuw, Ajip Rosidi, Yudiono K.S., Maman S. Mahayana, Bakri Siregar, bahkan Umar Junus dan Slametmoeljana, saya mencoba melihat upaya yang dilakukan para pakar sastra lainnya dalam merekonstruksi sejarah sastra Indonesia di era reformasi ini.

Dalam artikel yang dibacakan di 11th European Colloquium on Indonesian and Malay Studies yang diselenggarakan Lomonosov Moscow State University pada 1999, pengajar sastra Universitas Indonesia (UI), Ibnu Wahyudi, mengatakan, awal keberadaan sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang ditandai dengan terbitnya puisi “Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi” (anonim) yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (Jakarta: KPG, 2000).

Pada 2002, redaksi majalah sastra Horison yang dipimpin Taufiq Ismail menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia (empat jilid) yang di dalamnya menyebutkan awal mula penulisan puisi Indonesia dipelopori Hamzah Fansuri sekitar abad ke-17. Namun, Taufiq Ismail masih menyebut Hamzah Fansuri sebagai pionir sastra daerah, dalam hal ini Aceh. Ia tidak dengan tegas menyatakan bahwa Hamzah Fansuri adalah sastrawan Indonesia.

Dari kedua hal di atas, setidaknya ada keinginan pada Ibnu Wahyudi untuk meluruskan sejarah sastra Indonesia yang sekarang diajarkan di sekolah-sekolah. Pelurusan sejarah ini penting karena berkaitan langsung dengan kesadaran kita mengenai bangsa dan negara Indonesia.

Sejak Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyarankan untuk memutuskan sejarah kebudayaan prae-Indonesia (masa sebelum akhir abad ke-19) dengan kebudayaan Indonesia (awal abad ke-20 hingga kini), serta merta menghasilkan mata ran sejarah yang terputus. Seolah-olah kebudayaan Indonesia baru lahir mulai 1900 sekaligus menafikan perjalanan sejarah bangsa yang telah berjalan ribuan tahun.

Lompatan besar yang dilakukan STA itu sejalan dengan politik etis yang tengah dilakukan kolonial Belanda. Tapi, hal itu sekaligus menjadi kabut yang mengaburkan jatidiri bangsa Indonesia. Pandangan Sanusi Pane yang senafas dengan Poerbatjaraka dalam menanggapi STA sebenarnya memperlihatkan pandangan yang khas Indonesia. Dalam arti, mereka tidak silau dengan pengaruh Barat yang masuk ke Indonesia dan tidak mabuk dengan kebudayaan bangsanya sendiri.

Poerbatjaraka mengingatkan bahwa sejarah hari ini adalah kelanjutan dari sejarah masa lalu dan tidak terpotong begitu saja. Ia pun menegaskan bahwa sejatinya yang harus dilakukan adalah menyeleksi kebudayaan Indonesia yang purba dan pengaruh kebudayaan Barat untuk diformulakan menjadi kebudayaan Indonesia baru. Dalam bahasa Sanusi Pane, sebaiknya kebudayaan Indonesia mengawinkan Faust (Barat) dengan Arjuna (Timur).

Jika kita masih berpegang pada pendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia dimulai pada 1920, kita masih setia pada sejarah yang terpotong itu. Kalau merujuk politik etis kolonial Belanda yang membentuk Commissie voor de Indlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) pada 1908, dan selanjutnya pada 1917 mendirikan Kantoor voor de Volkslectuur (Kantor Bacaan Rakyat) yang diberi nama Balai Pustaka, kelahiran sastra Indonesia—dengan demikian—merupakan produk politik etis kolonial Belanda itu. Padahal, pengaruh Barat semacam itu hanyalah babakan kecil dari pengaruh luar yang masuk ke Indonesia. Dengan kata lain, keterpengaruhan itu hanya bagian kecil dari keindonesiaan kita.

Hasil penelitian Ibnu Wahyudi di atas memperlihatkan bahwa ia sudah terlepas dari kungkungan pemikiran yang dibentuk Belanda. Dengan menempatkan karya-karya sastrawan Indonesia dari peranakan Cina dan peranakan Eropa sebagai titik awal kelahiran sastra Indonesia, sesungguhnya ia telah menghadirkan wacana baru bahwa karya sastra yang tidak melalui sensor Balai Pustaka, yang tidak menggunakan bahasa Melayu tinggi, yang disebut sebagai bacaan liar, yang ceritanya berdasarkan peristiwa “yang sungguh-sungguh pernah terjadi”, adalah juga termasuk dalam khasanah sastra Indonesia.

Penelusuran Pramoedya Ananta Toer terhadap karya sastra Indonesia tempo dulu juga memperlihatkan hal serupa. Sastrawan-sastrawan yang sebagian besar berlatar belakang wartawan dari peranakan Eropa, Cina, dan asli Minahasa, seperti F. Wiggers, G. Francis, H. Kommer, Tio Ie Soei, dan F.D.J. Pangemanann, merupakan anasir penting dalam sastra Indonesia yang berhasil diselamatkan.

Terbitnya buku Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer pada 1982 (dan direvisi pada 2003) ini memiliki dua arti penting. Pertama, ada semacam pengakuan terhadap eksistensi sastra Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu pasar. Pram pun telah berjasa karena telah menjalin kembali mata ran sejarah sastra (dan juga kebudayaan) yang terputus akibat pemikiran STA.

Kedua, hasil penelusuran semacam itu sekaligus memperlihatkan sebuah babak yang unik dalam sejarah sastra Indonesia bahwa politik etis kolonial Belanda yang diskriminatif, terlebih di dunia pendidikan, menghasilkan produk yang tidak adil bagi bangsa pribumi. Akibatnya, hanya mereka yang boleh mengecap pendidikan “Barat” yang memiliki kemampuan berproduksi, yakni kaum peranakan dan golongan ningrat.

Karena itu, hanya kaum terpelajar seperti F.D.J. Pangemanann, sastrawan Minahasa yang juga pemimpin redaksi koran berbahasa Melayu, Djawa Tengah (1913-1938) dan bangsawan Jawa Noto Soeroto yang menghasilkan karya sastra pada masa maraknya sastra berbahasa Melayu pasar. Noto Soeroto sendiri menulis dalam bahasa Belanda, di antaranya Melatiknoppen (‘Kuntum-kuntum Melati’) pada 1915 dan Wayang-liederan (‘Dendang Wayang’) pada 1931, yang menurut thingy Hartoko berisi potret diri Noto Soeroto yang hidup dalam kemiskinan dan teralienasi dari masyarakatnya karena memilih sikap kooperatif dengan kolonial Belanda saat itu.

Sementara itu, karya Taufiq Ismail dkk., Horison Sastra Indonesia, memiliki arti sekaligus pesan penting bagi pembacanya untuk tidak melupakan karya sastra Indonesia “klasik” yang telah ditulis oleh pujangga-pujangga zaman dulu, seperti Hamzah Fansuri, Ronggowarsito, Raja Ali Haji, Chik Pantee Kulu, Haji Hasan Mustapa, Tan Teng Kie, bahkan karya besar dari Bugis, I La Galigo (anonim, disusun Arung Pancana Toa).

Apa yang dilakukan Ibnu Wahyudi dan Taufiq Ismail dkk. sudah memberi sumbangan yang sangat berarti bagi pelurusan sejarah sastra Indonesia. Hanya saja, perlu dilakukan upaya yang lebih radikal untuk kemajuan sastra Indonesia itu sendiri.

Seperti yang kita ketahui, sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945, manusia yang mendiami wilayah Indonesia sudah memiliki kebudayaan masing-masing. Salah satu anasir badaya yang mereka hasilkan adalah karya sastra yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah).

Dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang karya P.J. Zoetmulder (1983), karya sastra tertua yang menggunakan bahasa Jawa kuno adalah Arjunawiwaha (‘Perkawinan Arjuna’) karya Empu Kanwa yang terbit sekitar 1028-1035 di masa kerajaan Airlangga. Sementara dalam buku Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7--19 karya Vladimir I. Braginsky (1998) disebutkan bahwa pada Zaman Pertengahan, sastrawan-sastrawan Melayu telah menghasilkan karya sastra yang mendunia.

Dengan tegas Braginsky menyatakan, “Bagi dunia Timur, dan dunia Melayu tidak terkecuali, yang tradisional dan yang modern saling berjalinan dengan erat dan kuat. Sehingga tanpa mengenal yang pertama, orang tidak mungkin menghayati kedalaman makna yang kedua. Ini berarti, bahwa hanya dengan demikianlah orang bisa menyelami sebab-musabab proses-proses yang kini tengah berlangsung di Indonesia… Di dunia Timur, bidang sastra ini juga menyimpan hakikat dari tradisi-tradisi yang hidup, dan memaparkannya pada generasi-generasi yang mendatang dengan lebih baik, dibandingkan dengan bidang-bidang kebudayaan apa pun lainnya.”

Datangnya pengaruh Hindu/Buddha, Islam, kemudian pengaruh Barat telah memberi warna baru yang memperkaya dan mematangkan kebudayaan Indonesia, termasuk di dalamnya khazanah sastra Indonesia. Sebagaimana yang terjadi di ranah agama, di ranah sastra pun terjadi “sinkretisme” yang dilakukan sastrawan setempat dengan pengaruh luar. Boleh saja Rudyard Kipling mengatakan East is east and west is west and the twin shall never meet. Tapi, bagi manusia Jawa, memadukan dua hal yang bertentangan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Hal ini bisa terlihat dalam kakawin Sutasoma karya Empu Tantular, misalnya.

Dari uraian singkat di atas, saya ingin menarik kesimpulan bahwa setidaknya ada dua “kiblat” dalam sastra Indonesia, yakni sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Hindu/Buddha yang sangat kuat, yang berpusat di Jawa dan sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Islam yang sangat kuat, yang berpusat di Sumatera. Kedua “kiblat” itu bisa menjadi runutan dan rujukan berkaitan dengan penentuan awal kelahiran sastra Indonesia. Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil penelitian E.U. Kratz pada 1983 yang memperlihatkan bahwa sastrawan yang berasal dari Jawa (52,8%) dan Sumatera (30,3%) yang kini berperan besar dalam menghidupkan denyut nadi sastra Indonesia.*

oleh Asep Sambodja

Setiap kali membaca buku sejarah sastra Indonesia, baik tulisan A. Teeuw maupun Ajip Rosidi, terasa ada yang hilang, yakni sastrawan besar seperti Hamzah Fansuri dan Raden Ngabehi Ronggowarsito. Belum lagi kita menyinggung pengarang besar Mpu Kanwa yang menulis dalam bahasa Kawi Arjunawiwaha pada zaman Kediri (sekitar abad ke-11 dan 12), yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sanusi Pane pada 1948. Atau karya besar Mpu Prapanca yang dibuat pada zaman Majapahit, tepatnya tahun 1365 (abad ke-14), Nagarakrtagama, yang dinilai sangat penting karena menguraikan riwayat Singhasari dan Majapahit dari sumber-sumber pertama, yang menurut arkeolog Soekmono, ternyata sesuai dengan prasasti-prasasti yang ditemukan.
Ada mata rantai yang terputus ketika para pengamat sastra Indonesia seperti A. Teeuw, Ajip Rosidi, dan Umar Junus membuat titik awal kelahiran sastra Indonesia. Tampak bahwa ketiganya menggunakan tolok ukur ‘kesadaran kebangsaan’ (istilah Ajip Rosidi) dan ‘bersifat nasional’ (istilah Umar Junus) yang merupakan kriteria di luar wilayah sastra untuk dijadikan acuan dimulainya sejarah sastra Indonesia. Mereka tidak mempertimbangkan dan bahkan cenderung menafikan embrio yang melahirkan sastra Indonesia.
Ketika sekarang bangsa Indonesia mengakui candi Borobudur yang didirikan pada abad ke-8 di zaman dinasti Syailendra sebagai anasir sejarah nasional Indonesia, kenapa karya-karya sastra pujangga-pujangga lama kita tidak diakui dalam sejarah sastra Indonesia?
Dalam hal ini persoalan bahasa sebagai media sastra bisa menimbulkan perdebatan. Mpu Kanwa, Mpu Prapanca, Hamzah Fansuri, Teungku Chik Pantee Kulu, Raden Ngabehi Ronggowarsito, Haji Hasan Mustapa, Raja Ali Haji, Nuruddin Alraniry, dan sejumlah pujangga lainnya masing-masing menulis karya sastra dengan menggunakan bahasa ibunya. Apabila pengarang-pengarang yang berdomisili di dalam wilayah Indonesia itu telah meninggal bersama bahasa ibu yang mereka gunakan, maka seyogyanya kita tidak begitu saja menafikan hasil karya mereka sebagai bagian dalam khasanah sastra Indonesia. Sama halnya dengan pengarang modern yang menulis dengan menggunakan bahasa ibunya, seperti Ajip Rosidi yang menggunakan bahasa Sunda dalam Jante Arkidam (1967) dan beberapa karya terbarunya.

Sifat Nasional

Dalam tulisannya “Istilah dan Masa Waktu ‘Sastra Melayu’ dan ‘Sastra Indonesia’” Umar Junus mengatakan, sastra ada setelah bahasa ada. Premis yang dimuat dalam Medan Ilmu Pengetahuan Juli 1960 itu bermakna sastra Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada, yakni sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 (lihat pula Sejarah Sastra Indonesia Abad XX E. Ulrich Kratz, Kepustakaan Populer Gramedia, 2000, yang mengawali sejarah pemikiran sastra Indonesia modern pada hasil putusan kongres pemuda-pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928).
Umar Junus tidak memasukkan karya-karya sastra yang terbit sebelum Sumpah Pemuda seperti Azab dan Sengsara (Merari Siregar, 1920), Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (Nur Sutan Iskandar, 1922), Muda Teruna (Muhammad Kasim, 1922), Tanah Air (Muhammad Yamin, 1922), Bebasari (Rustam Effendi, 1926), Pertemuan (Abas Dt. Pamoentjak, 1927), Darah Muda (Adinegoro, 1927), dan Puspa Mega (Sanusi Pane, 1927) ke dalam golongan hasil sastra Indonesia, melainkan hanya menganggapnya sebagai hasil sastra Melayu baru atau modern.
Alasan yang dikemukakan Umar Junus, karya-karya itu bertentangan sekali dengan sifat nasional yang melekat pada nama Indonesia itu. Melihat tolok ukur Umar Junus yang menetapkan awal kelahiran sastra Indonesia pada 1928 dan bersifat nasional, sedikitnya ada tiga titik kelemahan yang melekat padanya.
Pertama, Umar Junus menafikan unsur pengarang dan lebih menitikberatkan pada bahasanya. Padahal, tanpa pengarang, sastra tidak ada, dan pengarang bisa menggunakan bahasa apa saja dalam menghasilkan karya sastra, tidak harus dengan bahasa Indonesia.
Kedua, dengan menyebutkan sastra Indonesia bermula sejak 28 Oktober 1928, premis tersebut gugur dengan sendirinya karena tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Sanusi Pane, Muhammad Yamin, Rustam Effendi, Adinegoro, Muhammad Kasim, Nur Sutan Iskandar, Abas Dt. Pamoentjak, Merari Siregar, dan Marah Rusli telah menulis jauh sebelum tanggal 28 Oktober 1928, serta tidak ada yang menyangsikan ataupun meragukan bahwa nama-nama tersebut merupakan sastrawan Indonesia tulen (lihat dua buku sederhana Pamusuk Eneste, Buku Pintar Sastra Indonesia, Kompas, 2001, dan Bibliografi Sastra Indonesia, IndonesiaTera, 2001).
Belum lagi kalau kita bersikap jujur terhadap karya-karya sastra yang dihasilkan sastrawan-sastrawan peranakan Tionghoa, seperti Allah jang Palsoe (1919) dan Boenga Roes dari Tjikembang (1927) karya Kwee Tek Hoay, Bintang Toedjoeh (1886) karya Tjhit Liap Seng, dan Siti Akbari (1884) karya Lie Kim Hok, yang menurut Monique Zaini-Lajoubert merupakan penjelmaan dari Syair Abdul Muluk (1847) karya Zaleha, adik Raja Ali Haji.
Contoh lainnya adalah Istri jang Dibeli (1922) dan Nona Olanda sebagai Istri Tionghoa (1925) karya Njoo Cheong Seng, penulis produktif pada zamannya. Ada pula Tjoema Boet Satoe (1927) karya Ong Ping Lok, Boekoe Tjerita Resianja Goela-goela (1912) karya Tan Boen Kim, Soepardi dan Soendari (1925) karya Tan Hong Boen, Nona Tjoe Joe (1922) karya Tio Ie Soei, Satoe Djodo Jang Terhalang (1917) dan The Loan Eng (1922) karya Tjoe Bou San, mantan Pemimpin Redaksi Sin Po.
Ketiga, “sifat nasional” dalam karya sastra yang sangat diagung-agungkan Umar Junus, yang kini menetap dan mengajar di Malaysia, justru menjadi bumerang yang dapat mengukung kebebasan berekspresi sastrawan. Karena sastrawan memiliki kebebasan untuk mengekspresikan apa saja. Chairil Anwar, Rendra, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang, Pramudya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidarma, Iwan Simatupang, Yanusa Nugroho, atau Budi Darma dalam menghasilkan karya sastra tidak selalu dan tidak harus memaksakan diri untuk selalu “bersifat nasional”.
Apakah Olenka Budi Darma “bersifat nasional”? Bagaimana pula dengan Pengakuan Pariyem Linus Suryadi Ag., Sri Sumarah dan Bawuk Umar Kayam, dan Godlob Danarto? Saya yakin sastrawan besar tidak akan mau, bahkan tidak sudi, terkungkung dengan atau oleh batasan apa pun, termasuk di dalamnya kungkungan berupa “sifat nasional” yang digagas Umar Junus dan “kesadaran kebangsaan” yang digagas Ajip Rosidi.
Ketika R. Ng. Ronggowarsito menulis sajak “Zaman Edan”, yang merupakan fragmen dari Serat Kalatida (terbit pada tahun 1820-an) yang membuatnya masyhur sampai sekarang adalah lebih karena berisi pikiran-pikiran falsafah tentang perkembangan kemajuan manusia yang dituangkan dalam kata-kata: “Amenangi zaman edan, ewuh aya ing pambudi, melu edan ora tahan, yen tan melu anglakoni, boya keduman melik, kaliran wekasanipun, dilalah kersaning Allah. Begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada.” Bukan karena pretensi apa pun.
Karya ini sudah diterjemahkan oleh sedikitnya tiga orang, yakni Slamet Sukirnanto dalam Ketika Kata Ketika Warna (Yayasan Ananda, 1995), Ahmad Norma dalam Zaman Edan (Bentang, 1998), dan Kamajaya dalam Lima Karya Pujangga Ranggawarsita (Balai Pustaka, 1991). Adapun terjemahan versi Kamajaya adalah, “Mengalami zaman edan, serba sulit dalam pemikiran, ikut gila tak tahan, kalau tidak ikut gila tidak mendapat bagian, akhirnya kelaparan, tapi takdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia orang yang sadar dan waspada.”

Kesadaran Kebangsaan

Konsep yang menyebutkan sastra Indonesia harus ‘bersifat nasional’ dan ‘berkesadaran kebangsaan’ telah membuat pemikiran kita mandek dalam merekonstruksi sejarah sastra Indonesia.
Hampir senada dengan Umar Junus, Ajip Rosidi dalam bukunya Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? (1964) menyatakan, sastra Indonesia lahir pada 1922. Tapi, menurut Ajip, bukan karena Azab dan Sengasara dan Siti Nurbaya lahir, melainkan karena pemuda-pemuda Indonesia seperti Muhammad Yamin, Muhammad Hatta, dan Sanusi Pane mengumumkan sajak-sajak yang bercorak kebangsaan dalam majalah Jong Sumatra.
Puisi-puisi lirik bertema cinta tanah air dan bangsa yang sedang dijajah, kata Ajip Rosidi, tidak kita jumpai dalam khasanah sastra Melayu. Ajip Rosidi menetapkan tahun 1922 sebagai tahun kelahiran sastra Indonesia karena bertepatan dengan terbitnya kumpulan sajak Tanah Air karya Muhammad Yamin.
Ajip Rosidi menambahkan, Azab Sengsara dan Siti Nurbaya tidak sesuai dengan “sifat nasional” karena yang menerbitkan kedua buku tersebut adalah Balai Pustaka (saat itu) yang menjadi organ kolonial Belanda.
Meskipun Ajip Rosidi memajukan sedikit tahun kelahiran sastra Indonesia dari angka tahun yang disebutkan Umar Junus, alasan yang dijadikan tolok ukur kelahiran sastra Indonesia juga tidak kuat. Jika “kesadaran kebangsaan” dijadikan ukuran, bagaimana dengan karya-karya sastra yang tidak menghiraukan “kesadaran kebangsaan”, apakah tidak dianggap sebagai anak kandung sastra Indonesia?
Pada perkembangannya, memang ada yang setia pada tema kebangsaan sebagaimana yang diingini Ajip Rosidi, tapi lebih banyak yang mengangkat tema kemanusiaan, keterasingan individu, seperti dalam novel Iwan Simatupang, dan mengangkat masalah keagamaan, seperti yang terbaca dalam karya-karya Kuntowijoyo, Emha Ainun Nadjib, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Jamal D. Rahman, dan A. Mustofa Bisri, meskipun dalam beberapa karyanya ada juga yang mengangkat realitas bangsanya.
Lantas mengenai penafian Siti Nurbaya dan Azab dan Sengsara yang hanya gara-gara diterbitkan oleh penerbit organ kolonial Belanda, itu merupakan pandangan yang sempit (gegabah). Sebab, hampir semua karya sastra Indonesia ‘modern’ yang terbit pada masa sebelum kemerdekaan (1945) diterbitkan oleh Balai Pustaka, yang disebut Ajip Rosidi sebagai organ kolonial itu.
Selain menerbitkan kedua buku di atas, Balai Pustaka juga menerbitkan Salah Asuhan (Abdul Muis), Salah Pilih (Nur Sutan Iskandar), Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati), Kasih Tak Terlerai (Suman Hasibuan), Dian yang Tak Kunjung Padam dan Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana), Kalau Tak Untung (Selasih), Ni Rawit Ceti Penjual Orang dan Sukreni Gadis Bali (A.A. Panji Tisna), Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck (Hamka), serta Andang Teruna (Sutomo Djuhar Arifin).
Rasanya sulit bagi Ajip Rosidi untuk tidak menerima karya sastra Indonesia yang diterbitkan oleh ‘organ kolonial’ itu dalam khasanah sastra Indonesia. Berdasarkan bukti-bukti yang telah dipaparkan di atas, maka gugurlah konsep kelahiran sastra Indonesia yang dikemukakan Umar Junus dan Ajip Rosidi.

Inovatif

Kritikus sastra Indonesia A. Teeuw dalam bukunya Sastra Baru Indonesia I (1980) mengatakan, sastra Indonesia lahir pada 1920. Kita tahu bahwa pada 1920 belum ada Sumpah Pemuda (1928) dan belum pula Indonesia diproklamasikan (1945). Dengan demikian, belum ada konsep tentang Indonesia, meski sudah dipolemikkan pada 1930-an oleh Sutan Takdir Alisjahbana di satu sisi dan Sanusi Pane di sisi lain.
A. Teeuw menyebutkan, pada ketika itulah (1920) para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda dari perasaan dan ide yang terdapat dalam masyarakat setempat yang tradisional. Mereka mulai berbuat demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada pokoknya menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua (lihat Sastra Baru Indonesia I, halaman 25). Benarkah demikian?
Jauh sebelum 1920, tepatnya 1637, sastrawan besar Hamzah Fansuri dan muridnya, Syamsuddin Pasai al Sumatrani, telah menghasilkan karya sastra yang “menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda dari perasaan dan ide yang terdapat dalam masyarakat setempat yang tradisional”. Pada 1637, karya-karya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani yang terbit di Aceh dilarang dan dimusnahkan atas perintah Raja Aceh, Sultan Iskandar Tsani, berdasarkan fatwa ulama istana Aceh, Nuruddin Al Raniri, yang menyatakan ajaran tasawuf aliran wujudiyah yang terkandung dalam karya Hamzah Fansuri sebagai ajaran atau aliran sesat.
Dalam buku yang sama, A. Teeuw juga menyebutkan, kenapa sastra Indonesia lahir pada 1920, karena pada tahun-tahun itu para pemuda menulis puisi baru Indonesia. “Dan karena dilarang di bidang politik (oleh kolonial Belanda), mereka mencoba mencari jalan keluar berbentuk sastra bagi pemikiran, perasaan, emosi, dan cita-cita baru yang mulai mengalir dalam diri mereka,” tulis Teeuw.
Dalam bukunya yang lain, Indonesia: antara Kelisanan dan Keberaksaraan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994: 44-73), terutama dalam tulisan bertajuk “Hamzah Fansuri, Pemula Puisi Indonesia”, Teeuw mengakui adanya tiga corak pembaruan yang dilakukan Hamzah Fansuri dalam karya-karyanya.
Pertama, individualitas: puisi-puisinya tidak anonim. Kedua, Hamzah Fansuri menciptakan puisi baru untuk mengungkapkan gerak sukmanya dengan syair. Ketiga, penggunaan bahasa yang sangat kreatif. Penemuan A. Teeuw tersebut melemahkan sekaligus meruntuhkan premisnya sendiri, yang menyebutkan sastra Indonesia lahir 1920 dan mengakui Hamzah Fansuri sebagai pemula (pelopor) puisi Indonesia.
Kepenyairan Hamzah Fansuri juga menarik penelitian lebih mendalam. Seorang penyair sufi asal Madura, Abdul Hadi W.M., dalam bukunya Hamzah Fansuri, Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya (Bandung, Mizan: 1995) mengungkapkan bahwa di bidang sastra, Hamzah Fansuri memelopori penulisan puisi-puisi filosofi dan mistik bercorak Islam. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman atau sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad 17-18 kebanyakan berada di bawah baying-bayang kejeniusan dan kepiawaian Hamzah Fansuri.
Abdul Hadi juga mengakui, Hamzah Fansuri adalah orang pertama yang memperkenalkan syair, puisi empat baris dengan skema sajak akhir a-a-a-a. Selain itu, Hamzah Fansuri dinilai berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika Melayu yang diasaskan dalam sastra Indonesia dan Melayu yang masih kelihatan sampai abad ke-20, khususnya di dalam karya penyair Pujangga Baru, seperti Sanusi Pane dan Amir Hamzah.
Dari penjelasan singkat di atas, sudah waktunya dilakukan rekonstruksi sejarah sastra Indonesia. Bukan hanya perlu, tapi menjadi satu kewajiban yang harus segera diwujudkan. Kriteria ‘bersifat nasional’ dan ‘kesadaran kebangsaan’ yang dibuat Umar Junus dan Ajip Rosidi, yang menggunakan tataran nilai di luar wilayah sastra, memiliki banyak kelemahan dan sama sekali tidak mencerahkan. Sebaliknya, mereka memasung pemikiran kita dengan pandangan yang membelenggu.
Kriteria yang digunakan A. Teeuw justru dapat diterima, karena menggunakan ukuran-ukuran yang lazim dalam dunia sastra, yakni bentuk-bentuk sastra yang berbeda dengan bentuk sastra yang sudah ada, serta adanya kebaruan dalam karya sastra yang diciptakan. Hanya saja, ketika Teeuw menjatuhkan vonis bahwa awal kelahiran sastra Indonesia pada 1920, kita jadi mempertanyakan dan meragukannya: benarkah demikian? Temuan-temuan Teeuw dan Abdul Hadi menunjukkan bahwa Hamzah Fansuri (yang lahir jauh sebelum 1920) sangat layak disebut sebagai pelopor perpuisian modern Indonesia.
Tapi, persoalan sejarah sastra Indonesia bukan persoalan siapa yang memulai dan siapa yang mengakhiri, tapi lebih diutamakan pada kejujuran para peneliti sastra Indonesia itu sendiri. Kenapa kita dengan mudah mengakui tari Saman, candi Borobudur, candi Prambanan, dan patung Asmat sebagai anasir sejarah kebudayaan Indonesia, sementara kita menutup mata pada Hang Tuah, Serat Centhini, La Galigo, Gatholoco, Babad Tanah Jawi, Nagarakrtagama, Arjunawiwaha, Serat Kalatida, Jaka Lodhang, Wulang Reh, Suluk Seh Siti Jenar, Suluk Seh Ngabdul Salam, Panitisastra, Babad Jaka Tingkir, Cemporet, dan sebagainya sebagai bagian dari khasanah sastra Indonesia?
La Galigo, misalnya, yang baru dikodifikasi dan dikumpulkan dari para penutur lisan di akhir abad ke-19, diyakini merupakan karya sastra terpanjang di dunia. Tak kurang dari 300.000 stanza terdapat dalam buku tersebut. Bandingkan dengan Mahabarata yang panjangnya hanya 100.000 stanza saja. Karya itu begitu indah bila dibaca dalam tulisan aslinya yang berbahasa Bugis Kuno, dengan menggunakan aksara lontarak. Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia sudah tersedia dalam dua jilid, masing-masing lebih dari seribu halaman.
Jika sejarah Indonesia mengakui bahwa masuknya Islam ke Indonesia dibawa oleh sembilan wali (walisongo), kenapa kita tidak jujur mengakui bahwa beberapa tahun kemudian muncul Suluk Seh Siti Jenar? Buku Suluk Seh Siti Jenar yang terbit pada abad ke-18 telah dilarang raja dan sudah dimusnahkan, karena dinilai mengandung ajaran sesat. Padahal, buku yang meng-counter hal itu pun sudah ada: Suluk Seh Ngabdul Salam. Pantaskah melihat sastra hanya dengan kacamata politik? Kenapa bangunan Borobudur bisa dilestarikan, sementara Arjunawiwaha tidak?
Apakah kita masih memegang teguh mitos “nenek moyangku seorang pelaut”? Kenapa kita menutup mata pada nenek moyang bangsa Indonesia yang bernama Ronggowarsito, Hamzah Fansuri, Mpu Kanwa, dan deretan panjang nama-nama pujangga besar yang sekarang tersimpan rapi di perpustakaan Leiden, Belanda? Apakah kita tidak merasa ‘dirampok’, ketika kolonial Belanda memboyong berton-ton karya sastra Indonesia lama, cikal bakal sastra Indonesia modern?
Terlepas dari hal itu, kita wajib belajar dari sejarah sastra Prancis yang sudah berjalan berabad-abad, sejak abad pertengahan (Moyen Age, abad ke-11) hingga Alain Robbe-Grillet (abad ke-20). Pada abad pertengahan di Prancis itu penulisan sejarah sastra Prancis juga dimulai dengan kehidupan di sekitar raja-raja. Persis ketika sastra Indonesia masih bersifat istanasentris.
Kalau kita mau jujur, sebenarnya perjalanan sejarah sastra Indonesia pun sudah berabad-abad. Hanya saja, kita tidak pernah jujur dan tidak menghargai kerja nenek moyang kita yang berprofesi pujangga, bukan pelaut. Bangunan pemikiran para mpu atau katakanlah juru tulis kerajaan tampaknya tertutup kabut ketidakjujuran kita sendiri. ***

merekonstruksi sejarah sastra indonesia

oleh Asep Sambodja

Setiap kali membaca buku sejarah sastra Indonesia, baik tulisan A. Teeuw maupun Ajip Rosidi, terasa ada yang hilang, yakni sastrawan besar seperti Hamzah Fansuri dan Raden Ngabehi Ronggowarsito. Belum lagi kita menyinggung pengarang besar Mpu Kanwa yang menulis dalam bahasa Kawi Arjunawiwaha pada zaman Kediri (sekitar abad ke-11 dan 12), yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sanusi Pane pada 1948. Atau karya besar Mpu Prapanca yang dibuat pada zaman Majapahit, tepatnya tahun 1365 (abad ke-14), Nagarakrtagama, yang dinilai sangat penting karena menguraikan riwayat Singhasari dan Majapahit dari sumber-sumber pertama, yang menurut arkeolog Soekmono, ternyata sesuai dengan prasasti-prasasti yang ditemukan.
Ada mata rantai yang terputus ketika para pengamat sastra Indonesia seperti A. Teeuw, Ajip Rosidi, dan Umar Junus membuat titik awal kelahiran sastra Indonesia. Tampak bahwa ketiganya menggunakan tolok ukur ‘kesadaran kebangsaan’ (istilah Ajip Rosidi) dan ‘bersifat nasional’ (istilah Umar Junus) yang merupakan kriteria di luar wilayah sastra untuk dijadikan acuan dimulainya sejarah sastra Indonesia. Mereka tidak mempertimbangkan dan bahkan cenderung menafikan embrio yang melahirkan sastra Indonesia.
Ketika sekarang bangsa Indonesia mengakui candi Borobudur yang didirikan pada abad ke-8 di zaman dinasti Syailendra sebagai anasir sejarah nasional Indonesia, kenapa karya-karya sastra pujangga-pujangga lama kita tidak diakui dalam sejarah sastra Indonesia?
Dalam hal ini persoalan bahasa sebagai media sastra bisa menimbulkan perdebatan. Mpu Kanwa, Mpu Prapanca, Hamzah Fansuri, Teungku Chik Pantee Kulu, Raden Ngabehi Ronggowarsito, Haji Hasan Mustapa, Raja Ali Haji, Nuruddin Alraniry, dan sejumlah pujangga lainnya masing-masing menulis karya sastra dengan menggunakan bahasa ibunya. Apabila pengarang-pengarang yang berdomisili di dalam wilayah Indonesia itu telah meninggal bersama bahasa ibu yang mereka gunakan, maka seyogyanya kita tidak begitu saja menafikan hasil karya mereka sebagai bagian dalam khasanah sastra Indonesia. Sama halnya dengan pengarang modern yang menulis dengan menggunakan bahasa ibunya, seperti Ajip Rosidi yang menggunakan bahasa Sunda dalam Jante Arkidam (1967) dan beberapa karya terbarunya.

Sifat Nasional

Dalam tulisannya “Istilah dan Masa Waktu ‘Sastra Melayu’ dan ‘Sastra Indonesia’” Umar Junus mengatakan, sastra ada setelah bahasa ada. Premis yang dimuat dalam Medan Ilmu Pengetahuan Juli 1960 itu bermakna sastra Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada, yakni sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 (lihat pula Sejarah Sastra Indonesia Abad XX E. Ulrich Kratz, Kepustakaan Populer Gramedia, 2000, yang mengawali sejarah pemikiran sastra Indonesia modern pada hasil putusan kongres pemuda-pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928).
Umar Junus tidak memasukkan karya-karya sastra yang terbit sebelum Sumpah Pemuda seperti Azab dan Sengsara (Merari Siregar, 1920), Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (Nur Sutan Iskandar, 1922), Muda Teruna (Muhammad Kasim, 1922), Tanah Air (Muhammad Yamin, 1922), Bebasari (Rustam Effendi, 1926), Pertemuan (Abas Dt. Pamoentjak, 1927), Darah Muda (Adinegoro, 1927), dan Puspa Mega (Sanusi Pane, 1927) ke dalam golongan hasil sastra Indonesia, melainkan hanya menganggapnya sebagai hasil sastra Melayu baru atau modern.
Alasan yang dikemukakan Umar Junus, karya-karya itu bertentangan sekali dengan sifat nasional yang melekat pada nama Indonesia itu. Melihat tolok ukur Umar Junus yang menetapkan awal kelahiran sastra Indonesia pada 1928 dan bersifat nasional, sedikitnya ada tiga titik kelemahan yang melekat padanya.
Pertama, Umar Junus menafikan unsur pengarang dan lebih menitikberatkan pada bahasanya. Padahal, tanpa pengarang, sastra tidak ada, dan pengarang bisa menggunakan bahasa apa saja dalam menghasilkan karya sastra, tidak harus dengan bahasa Indonesia.
Kedua, dengan menyebutkan sastra Indonesia bermula sejak 28 Oktober 1928, premis tersebut gugur dengan sendirinya karena tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Sanusi Pane, Muhammad Yamin, Rustam Effendi, Adinegoro, Muhammad Kasim, Nur Sutan Iskandar, Abas Dt. Pamoentjak, Merari Siregar, dan Marah Rusli telah menulis jauh sebelum tanggal 28 Oktober 1928, serta tidak ada yang menyangsikan ataupun meragukan bahwa nama-nama tersebut merupakan sastrawan Indonesia tulen (lihat dua buku sederhana Pamusuk Eneste, Buku Pintar Sastra Indonesia, Kompas, 2001, dan Bibliografi Sastra Indonesia, IndonesiaTera, 2001).
Belum lagi kalau kita bersikap jujur terhadap karya-karya sastra yang dihasilkan sastrawan-sastrawan peranakan Tionghoa, seperti Allah jang Palsoe (1919) dan Boenga Roes dari Tjikembang (1927) karya Kwee Tek Hoay, Bintang Toedjoeh (1886) karya Tjhit Liap Seng, dan Siti Akbari (1884) karya Lie Kim Hok, yang menurut Monique Zaini-Lajoubert merupakan penjelmaan dari Syair Abdul Muluk (1847) karya Zaleha, adik Raja Ali Haji.
Contoh lainnya adalah Istri jang Dibeli (1922) dan Nona Olanda sebagai Istri Tionghoa (1925) karya Njoo Cheong Seng, penulis produktif pada zamannya. Ada pula Tjoema Boet Satoe (1927) karya Ong Ping Lok, Boekoe Tjerita Resianja Goela-goela (1912) karya Tan Boen Kim, Soepardi dan Soendari (1925) karya Tan Hong Boen, Nona Tjoe Joe (1922) karya Tio Ie Soei, Satoe Djodo Jang Terhalang (1917) dan The Loan Eng (1922) karya Tjoe Bou San, mantan Pemimpin Redaksi Sin Po.
Ketiga, “sifat nasional” dalam karya sastra yang sangat diagung-agungkan Umar Junus, yang kini menetap dan mengajar di Malaysia, justru menjadi bumerang yang dapat mengukung kebebasan berekspresi sastrawan. Karena sastrawan memiliki kebebasan untuk mengekspresikan apa saja. Chairil Anwar, Rendra, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang, Pramudya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidarma, Iwan Simatupang, Yanusa Nugroho, atau Budi Darma dalam menghasilkan karya sastra tidak selalu dan tidak harus memaksakan diri untuk selalu “bersifat nasional”.
Apakah Olenka Budi Darma “bersifat nasional”? Bagaimana pula dengan Pengakuan Pariyem Linus Suryadi Ag., Sri Sumarah dan Bawuk Umar Kayam, dan Godlob Danarto? Saya yakin sastrawan besar tidak akan mau, bahkan tidak sudi, terkungkung dengan atau oleh batasan apa pun, termasuk di dalamnya kungkungan berupa “sifat nasional” yang digagas Umar Junus dan “kesadaran kebangsaan” yang digagas Ajip Rosidi.
Ketika R. Ng. Ronggowarsito menulis sajak “Zaman Edan”, yang merupakan fragmen dari Serat Kalatida (terbit pada tahun 1820-an) yang membuatnya masyhur sampai sekarang adalah lebih karena berisi pikiran-pikiran falsafah tentang perkembangan kemajuan manusia yang dituangkan dalam kata-kata: “Amenangi zaman edan, ewuh aya ing pambudi, melu edan ora tahan, yen tan melu anglakoni, boya keduman melik, kaliran wekasanipun, dilalah kersaning Allah. Begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada.” Bukan karena pretensi apa pun.
Karya ini sudah diterjemahkan oleh sedikitnya tiga orang, yakni Slamet Sukirnanto dalam Ketika Kata Ketika Warna (Yayasan Ananda, 1995), Ahmad Norma dalam Zaman Edan (Bentang, 1998), dan Kamajaya dalam Lima Karya Pujangga Ranggawarsita (Balai Pustaka, 1991). Adapun terjemahan versi Kamajaya adalah, “Mengalami zaman edan, serba sulit dalam pemikiran, ikut gila tak tahan, kalau tidak ikut gila tidak mendapat bagian, akhirnya kelaparan, tapi takdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia orang yang sadar dan waspada.”

Kesadaran Kebangsaan

Konsep yang menyebutkan sastra Indonesia harus ‘bersifat nasional’ dan ‘berkesadaran kebangsaan’ telah membuat pemikiran kita mandek dalam merekonstruksi sejarah sastra Indonesia.
Hampir senada dengan Umar Junus, Ajip Rosidi dalam bukunya Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? (1964) menyatakan, sastra Indonesia lahir pada 1922. Tapi, menurut Ajip, bukan karena Azab dan Sengasara dan Siti Nurbaya lahir, melainkan karena pemuda-pemuda Indonesia seperti Muhammad Yamin, Muhammad Hatta, dan Sanusi Pane mengumumkan sajak-sajak yang bercorak kebangsaan dalam majalah Jong Sumatra.
Puisi-puisi lirik bertema cinta tanah air dan bangsa yang sedang dijajah, kata Ajip Rosidi, tidak kita jumpai dalam khasanah sastra Melayu. Ajip Rosidi menetapkan tahun 1922 sebagai tahun kelahiran sastra Indonesia karena bertepatan dengan terbitnya kumpulan sajak Tanah Air karya Muhammad Yamin.
Ajip Rosidi menambahkan, Azab Sengsara dan Siti Nurbaya tidak sesuai dengan “sifat nasional” karena yang menerbitkan kedua buku tersebut adalah Balai Pustaka (saat itu) yang menjadi organ kolonial Belanda.
Meskipun Ajip Rosidi memajukan sedikit tahun kelahiran sastra Indonesia dari angka tahun yang disebutkan Umar Junus, alasan yang dijadikan tolok ukur kelahiran sastra Indonesia juga tidak kuat. Jika “kesadaran kebangsaan” dijadikan ukuran, bagaimana dengan karya-karya sastra yang tidak menghiraukan “kesadaran kebangsaan”, apakah tidak dianggap sebagai anak kandung sastra Indonesia?
Pada perkembangannya, memang ada yang setia pada tema kebangsaan sebagaimana yang diingini Ajip Rosidi, tapi lebih banyak yang mengangkat tema kemanusiaan, keterasingan individu, seperti dalam novel Iwan Simatupang, dan mengangkat masalah keagamaan, seperti yang terbaca dalam karya-karya Kuntowijoyo, Emha Ainun Nadjib, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Jamal D. Rahman, dan A. Mustofa Bisri, meskipun dalam beberapa karyanya ada juga yang mengangkat realitas bangsanya.
Lantas mengenai penafian Siti Nurbaya dan Azab dan Sengsara yang hanya gara-gara diterbitkan oleh penerbit organ kolonial Belanda, itu merupakan pandangan yang sempit (gegabah). Sebab, hampir semua karya sastra Indonesia ‘modern’ yang terbit pada masa sebelum kemerdekaan (1945) diterbitkan oleh Balai Pustaka, yang disebut Ajip Rosidi sebagai organ kolonial itu.
Selain menerbitkan kedua buku di atas, Balai Pustaka juga menerbitkan Salah Asuhan (Abdul Muis), Salah Pilih (Nur Sutan Iskandar), Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati), Kasih Tak Terlerai (Suman Hasibuan), Dian yang Tak Kunjung Padam dan Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana), Kalau Tak Untung (Selasih), Ni Rawit Ceti Penjual Orang dan Sukreni Gadis Bali (A.A. Panji Tisna), Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck (Hamka), serta Andang Teruna (Sutomo Djuhar Arifin).
Rasanya sulit bagi Ajip Rosidi untuk tidak menerima karya sastra Indonesia yang diterbitkan oleh ‘organ kolonial’ itu dalam khasanah sastra Indonesia. Berdasarkan bukti-bukti yang telah dipaparkan di atas, maka gugurlah konsep kelahiran sastra Indonesia yang dikemukakan Umar Junus dan Ajip Rosidi.

Inovatif

Kritikus sastra Indonesia A. Teeuw dalam bukunya Sastra Baru Indonesia I (1980) mengatakan, sastra Indonesia lahir pada 1920. Kita tahu bahwa pada 1920 belum ada Sumpah Pemuda (1928) dan belum pula Indonesia diproklamasikan (1945). Dengan demikian, belum ada konsep tentang Indonesia, meski sudah dipolemikkan pada 1930-an oleh Sutan Takdir Alisjahbana di satu sisi dan Sanusi Pane di sisi lain.
A. Teeuw menyebutkan, pada ketika itulah (1920) para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda dari perasaan dan ide yang terdapat dalam masyarakat setempat yang tradisional. Mereka mulai berbuat demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada pokoknya menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua (lihat Sastra Baru Indonesia I, halaman 25). Benarkah demikian?
Jauh sebelum 1920, tepatnya 1637, sastrawan besar Hamzah Fansuri dan muridnya, Syamsuddin Pasai al Sumatrani, telah menghasilkan karya sastra yang “menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda dari perasaan dan ide yang terdapat dalam masyarakat setempat yang tradisional”. Pada 1637, karya-karya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani yang terbit di Aceh dilarang dan dimusnahkan atas perintah Raja Aceh, Sultan Iskandar Tsani, berdasarkan fatwa ulama istana Aceh, Nuruddin Al Raniri, yang menyatakan ajaran tasawuf aliran wujudiyah yang terkandung dalam karya Hamzah Fansuri sebagai ajaran atau aliran sesat.
Dalam buku yang sama, A. Teeuw juga menyebutkan, kenapa sastra Indonesia lahir pada 1920, karena pada tahun-tahun itu para pemuda menulis puisi baru Indonesia. “Dan karena dilarang di bidang politik (oleh kolonial Belanda), mereka mencoba mencari jalan keluar berbentuk sastra bagi pemikiran, perasaan, emosi, dan cita-cita baru yang mulai mengalir dalam diri mereka,” tulis Teeuw.
Dalam bukunya yang lain, Indonesia: antara Kelisanan dan Keberaksaraan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994: 44-73), terutama dalam tulisan bertajuk “Hamzah Fansuri, Pemula Puisi Indonesia”, Teeuw mengakui adanya tiga corak pembaruan yang dilakukan Hamzah Fansuri dalam karya-karyanya.
Pertama, individualitas: puisi-puisinya tidak anonim. Kedua, Hamzah Fansuri menciptakan puisi baru untuk mengungkapkan gerak sukmanya dengan syair. Ketiga, penggunaan bahasa yang sangat kreatif. Penemuan A. Teeuw tersebut melemahkan sekaligus meruntuhkan premisnya sendiri, yang menyebutkan sastra Indonesia lahir 1920 dan mengakui Hamzah Fansuri sebagai pemula (pelopor) puisi Indonesia.
Kepenyairan Hamzah Fansuri juga menarik penelitian lebih mendalam. Seorang penyair sufi asal Madura, Abdul Hadi W.M., dalam bukunya Hamzah Fansuri, Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya (Bandung, Mizan: 1995) mengungkapkan bahwa di bidang sastra, Hamzah Fansuri memelopori penulisan puisi-puisi filosofi dan mistik bercorak Islam. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman atau sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad 17-18 kebanyakan berada di bawah baying-bayang kejeniusan dan kepiawaian Hamzah Fansuri.
Abdul Hadi juga mengakui, Hamzah Fansuri adalah orang pertama yang memperkenalkan syair, puisi empat baris dengan skema sajak akhir a-a-a-a. Selain itu, Hamzah Fansuri dinilai berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika Melayu yang diasaskan dalam sastra Indonesia dan Melayu yang masih kelihatan sampai abad ke-20, khususnya di dalam karya penyair Pujangga Baru, seperti Sanusi Pane dan Amir Hamzah.
Dari penjelasan singkat di atas, sudah waktunya dilakukan rekonstruksi sejarah sastra Indonesia. Bukan hanya perlu, tapi menjadi satu kewajiban yang harus segera diwujudkan. Kriteria ‘bersifat nasional’ dan ‘kesadaran kebangsaan’ yang dibuat Umar Junus dan Ajip Rosidi, yang menggunakan tataran nilai di luar wilayah sastra, memiliki banyak kelemahan dan sama sekali tidak mencerahkan. Sebaliknya, mereka memasung pemikiran kita dengan pandangan yang membelenggu.
Kriteria yang digunakan A. Teeuw justru dapat diterima, karena menggunakan ukuran-ukuran yang lazim dalam dunia sastra, yakni bentuk-bentuk sastra yang berbeda dengan bentuk sastra yang sudah ada, serta adanya kebaruan dalam karya sastra yang diciptakan. Hanya saja, ketika Teeuw menjatuhkan vonis bahwa awal kelahiran sastra Indonesia pada 1920, kita jadi mempertanyakan dan meragukannya: benarkah demikian? Temuan-temuan Teeuw dan Abdul Hadi menunjukkan bahwa Hamzah Fansuri (yang lahir jauh sebelum 1920) sangat layak disebut sebagai pelopor perpuisian modern Indonesia.
Tapi, persoalan sejarah sastra Indonesia bukan persoalan siapa yang memulai dan siapa yang mengakhiri, tapi lebih diutamakan pada kejujuran para peneliti sastra Indonesia itu sendiri. Kenapa kita dengan mudah mengakui tari Saman, candi Borobudur, candi Prambanan, dan patung Asmat sebagai anasir sejarah kebudayaan Indonesia, sementara kita menutup mata pada Hang Tuah, Serat Centhini, La Galigo, Gatholoco, Babad Tanah Jawi, Nagarakrtagama, Arjunawiwaha, Serat Kalatida, Jaka Lodhang, Wulang Reh, Suluk Seh Siti Jenar, Suluk Seh Ngabdul Salam, Panitisastra, Babad Jaka Tingkir, Cemporet, dan sebagainya sebagai bagian dari khasanah sastra Indonesia?
La Galigo, misalnya, yang baru dikodifikasi dan dikumpulkan dari para penutur lisan di akhir abad ke-19, diyakini merupakan karya sastra terpanjang di dunia. Tak kurang dari 300.000 stanza terdapat dalam buku tersebut. Bandingkan dengan Mahabarata yang panjangnya hanya 100.000 stanza saja. Karya itu begitu indah bila dibaca dalam tulisan aslinya yang berbahasa Bugis Kuno, dengan menggunakan aksara lontarak. Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia sudah tersedia dalam dua jilid, masing-masing lebih dari seribu halaman.
Jika sejarah Indonesia mengakui bahwa masuknya Islam ke Indonesia dibawa oleh sembilan wali (walisongo), kenapa kita tidak jujur mengakui bahwa beberapa tahun kemudian muncul Suluk Seh Siti Jenar? Buku Suluk Seh Siti Jenar yang terbit pada abad ke-18 telah dilarang raja dan sudah dimusnahkan, karena dinilai mengandung ajaran sesat. Padahal, buku yang meng-counter hal itu pun sudah ada: Suluk Seh Ngabdul Salam. Pantaskah melihat sastra hanya dengan kacamata politik? Kenapa bangunan Borobudur bisa dilestarikan, sementara Arjunawiwaha tidak?
Apakah kita masih memegang teguh mitos “nenek moyangku seorang pelaut”? Kenapa kita menutup mata pada nenek moyang bangsa Indonesia yang bernama Ronggowarsito, Hamzah Fansuri, Mpu Kanwa, dan deretan panjang nama-nama pujangga besar yang sekarang tersimpan rapi di perpustakaan Leiden, Belanda? Apakah kita tidak merasa ‘dirampok’, ketika kolonial Belanda memboyong berton-ton karya sastra Indonesia lama, cikal bakal sastra Indonesia modern?
Terlepas dari hal itu, kita wajib belajar dari sejarah sastra Prancis yang sudah berjalan berabad-abad, sejak abad pertengahan (Moyen Age, abad ke-11) hingga Alain Robbe-Grillet (abad ke-20). Pada abad pertengahan di Prancis itu penulisan sejarah sastra Prancis juga dimulai dengan kehidupan di sekitar raja-raja. Persis ketika sastra Indonesia masih bersifat istanasentris.
Kalau kita mau jujur, sebenarnya perjalanan sejarah sastra Indonesia pun sudah berabad-abad. Hanya saja, kita tidak pernah jujur dan tidak menghargai kerja nenek moyang kita yang berprofesi pujangga, bukan pelaut. Bangunan pemikiran para mpu atau katakanlah juru tulis kerajaan tampaknya tertutup kabut ketidakjujuran kita sendiri. ***