Di samping giat menulis, ia juga aktif terlibat dalam pelaksanaan agenda kebudayaan yang lebih luas. Sekadar gambaran, ia pernah mengetuai Dewan Kesenian Jakarta, dan turut mendirikan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, juga pernah pula mengetuai Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) seraya ikut mendirikan beberapa lembaga penerbitan, di antaranya penerbit Pustaka Jaya di Jakarta dan Kiblat Buku Utama di Bandung. Ia pun pernah mengajar di Fakultas Sastera Universitas Padjadjaran, kemudian hijrah ke Jepang menjadi gurubesar tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing Osaka) sejak tahun 1981. Yayasan Kebudayaan Rancagé, yang setiap tahun sejak tahun 1989 memberikan Hadiah Sastera Rancagé dan Hadiah Samsudi untuk buku-buku dan tokoh-tokoh yang terkait dengan sastera daerah (semula dikhususkan untuk lingkungan sastera Sunda, kemudian diperluas ke lingkungan sastera Jawa dan Bali), juga merupakan salah satu wujud kerja budaya Ajip yang terpenting. Ia juga giat mendokumentasikan sejumlah warisan kebudayaan, semisal yang dilakukannya melalui Proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda yang merekam dan mempublikasikan carita pantun dari tahun 1970 hingga 1973, menyusun dan menerbitkan Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia dan Budaya, termasuk Budaya Cirebon dan Betawi (2000), dan memprakarsai Konferensi Internasional Budaya Sunda I di Bandung pada tahun 2001.
Dengan melihat kenyataan-kenyataan seperti tersebut di atas, kini dirasa perlu dan penting melakukan tinjauan kritis atas karya-karya dan kegiatan-kegiatan Ajip Rosidi, terutama dari perspektif ilmu sosial. Hal ini bukan hanya penting buat melihat posisi Ajip di tengah panggung sejarah sastera dan budaya Indonesia, melainkan yang lebih penting lagi untuk meninjau relevansi dari kerja budayanya dengan sejarah kesusastraan Indonesia khususnya, dan kebudayaan Indonesia umumnya. Perspektif ilmu sosial dalam hal ini bukan hanya penting guna meninjau—untuk meminjam peristilahan Ignas Kleden—-“relevansi sosial” dari kerja budaya Ajip, dalam pengertian sejauh mana kerja budaya itu menjawab tuntutan atau kebutuhan masyarakat pada ruang dan waktu tertentu, melainkan juga penting untuk meninjau “relevansi intelektual”-nya, dalam pengertian sejauh mana ide-ide yang diwujudkan lewat kerja budaya itu valid atau sahih secara formal. Dengan demikian tinjauan kritis atas karya-karya dan kegiatan-kegiatan Ajip Rosidi dapat dilihat sebagai upaya tersendiri dalam kerangka “kritik kebudayaan” dengan berpijak pada “sikap ilmiah”.
yes
BalasHapus